COGNITIVE ENTRY
A. Konsep
Kognitif
1.
Teori
Psikologi kognitif
Menurut
Sternberg (2008:2): kognitif adalah cara manusia berpikir, Psikologi kognitif
adalah ilmuan yang berpikir tentang cara manusia berpikir. Dan psikologi
kognitif adalah sebuah bidang studi tentang bagaimana manusia memahami, belajar
mengingat dan berpikir tentang suatu informasi. Seorang psikologi kognitif
mempelajari cara manusia memahami beragam bentuk, kenapa mereka ingat beberapa
fakta tetapi lupa fakta yang lain atau bagaimana cara mereka belajar bahasa.
Solso dan kawan-kawan, (2008:10) : Psikologi kognitif adalah ilmu pemrosesan
informasi yang dimaksudkan adalah psikologi kognitif berkutat dengan cara kita
memperoleh dan memproses informasi mengenai dunia cara informasi mengenai
dunia, cara informasi tersebut disimpan dan diproses oleh otak, cara kita
menyelesaikan masalah, berpikir dan menyususn bahasa dan bagaimana
proses–proses ini ditampilkan dalam perilaku yang dapat di amati. Proses-proses
tersebut meliputi neurosains kognitif, kecerdasan manusia dan kecerdasan
konsep, berpikir dan formasi konsep, perkembangan kognitif, pengenalan pola, atensi,
kesadaran, memori, representasi pengetahuan, pencitraan, bahasa, sensasi
persepsi
2.
Teori
Belajar Psikologi Kognitif
Proses
hubungan stimulus-response-reinforcement merupakan awal dari teori belajar
psikologi kognitif atau teori belajar kognitif. Para ahli psikologi kognitif
berpendapat bahwa tingkah laku seseorang tidak dikontrol oleh reward dan reinforcement dan senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu
tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi.
Dalam
situasi belajar seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh
insight untuk pemecahan masalah. Jadi kaum kognitifis berpandangan bahwa
tingkah laku seseorang lebih bergantung kepada insight terhadap
hubungan–hubungan yang ada di dalam situasi. Keseluruhan adalah lebih dari
bagian–bagiannya. Mereka memberi tekanan pada organisasi pengamatan atas
stimuli di dalam lingkungan serta faktor-faktor yang mempengaruhi pengamatan
a.
Teori Belajar Cognitive-Field dari Lewin
Lewin
(1892-1947) dalam Wasty Soemanto (2006:129) berpendapat bahwa tingkah laku
merupakan hasil interaksi antar kekuatan-kekuatan baik yang dari dalam individu
seperti tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan;maupun dari luar diri individu
seperti tantangan dan permasalahan. Belajar berlangsung sebagai akibat dari
perubahan dalam struktur kognitif. Lewin mengembangkan teori belajar
berdasarkan Life Space (dunia psikologis
dari kehidupan individu). Masing-masing individu berada di dalam medan kekuatan
psikologis, medan itu dinamakan Life Space yang terdiri dari dua unsur
yaitu kepribadian dan psikologi sosial. Ia menyatakan bahwa tingkah laku
belajar merupakan usaha untuk mengadakan reorganisasi/restruktur (dari isi
jiwa). Tingkah laku merupakan hasil dari interaksi antar kekuatan baik dari
dalam (tujuan, kebutuhan, tekanan batin, dan sebagainya) maupun dari luar
(tantangan, permasalahan).
b. Teori
Belajar Cognitive Developmental dari Piaget
Dalam
teorinya, Piaget dalam Wasty Soemanto (2006:130) memandang bahwa proses
berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju
abstrak. Ia memakai istilah scheme:
pola tingkah laku yang dapat diulang, yang berhubungan dengan :
1) Reflex
pembawaan (bernapas, makan, minum)
2) Scheme
mental (pola tingkah laku yang susah diamati, dan yang dapat diamati)
Menurut
Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tingkat yaitu :
1) sensory
motor ;
2) pre-operational
;
3) concrete
operational dan ;
4) formal
operational
Perkembangan
kognitif individu meliputi empat tahap menurut Piaget yaitu:
1) Kematangan
;
2) Pengalaman
fisik/ lingkungan ;
3) Transmisi
social ;
4) Equilibrium/self
regulation
Menurut
Piaget intelegensi itu terdiri dari tiga aspek, yaitu:
1) struktur
(scheme) : pola tingkah laku yang dapat diulang
2) isi
(content) : pola tingkah laku yang spesifik (saat menghadapi masalah)
3) fungsi
(function) : berhunbungan dengan cara seseorang untuk mencapai kemajuan intelektul
c.
Teori Belajar Discovery Learnig dari
Jerome Bruner
Teori
Bruner dalam Wasty Soemanto (2006:134) menyatakan bahwa anak harus
berperan secara aktif dalam belajar di kelas. Maksud dari Discovery Learning
yaitu siswa mengorganisasikan metode penyajian bahwa dengan cara dimana anak
dapat mempelajari bahan itu, sesuai dengan tingkat kemampuan anak. The act of discovery dari Burner
diantaranya
1) Adanya
suatu kenaikan di dalam potensi intelektual ;
2) Ganjaran
intrinsic lebih ditekankan daripada ekstrinsik ;
3) Murid
yang mempelajari bagaimana menemukan berarti murid itu menguasai metode discovery
learning ;
4) Murid
lebih senang mengingat-ingat informasi
Selain
ketiga tokoh tersebut Ausubel juga berpengaruh dalam psikologi kognitif. Dia
mengungkapkan teori ekspository teaching, yaitu dapat diorganisasikan
atau disajikan secara baik agar dapat menghasilkan pengertian dan resensi yang
baik pula sama dengan discovery learning.
B. Konsep
Behavior
Ada beberapa pandangan tentang behaviorisme,
Sternberg (2008:7) behaviorisme adalah sebuah pandangan teoritis yang
berpandapat bahwa psikologi mestinya menyoroti relasi antar perilaku yang bisa
diamati di satu sisi, dan peristiwa-peristiwa lingkungan atau stimuli yang
mempengaruhinya di sisi lain.
1.
Teori
Behavioristik
Teori
behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gagne dan Berliner
tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman. Teori ini berkembang
menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan
teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran
behavioristik, dimana aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang
tampak sebagai hasil belajar. Dengan demikian teori behavioristik menganggap
seseorang telah belajar sesuatu jika ia telah mampu menunjukkan perubahan
tingkah laku. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang
dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang
baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Disamping stimulus
respon dalam teori behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement).
Penguatan yang dimaksud dalam teori ini apa saja yang dapat memperkuat
timbulnya respon.
2. Teori
Belajar Behavioristik
Teori
belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang
dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui
rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon)
berdasarkan hukum-hukum mekanistik.
Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun
eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau
dampak, berupa reaksi fifik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan
ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon).
a) Teori
Koneksionisme
Teori
belajar Thorndike (1874-1949) dalam Dalyono (2005:30) disebut “connectionism”
atau asosiasi karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi
antara stimulus dan respon. Teori ini sering pula disebut “trial and
error learning”, individu yang belajar melakukan kegiatan proses
“trial-and-error” dalam rangka memilih respon yang tepat bagi stimulus
tertentu. Peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa
yang disebut stimulus (S) dengan respon (R). Stimulus adalah suatu perubahan
dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk
beraksi atau berbuat sedangkan respon dari adalah sembarang tingkah laku yang
dimunculkan karena adanya perangsang. Dari percobaan ini Thorndike menemukan
hukum-hukum belajar sebagai berikut (Dalyono, 2005:31) :
1) “Law of readiness” :
Jika
reaksi terhadap stimulus didukung oleh kesiapan untuk bertindak atau bereaksi
itu, maka rekasi menjadi memuaskan
2) “Law of exercise” :
Makin
banyak dipraktekkan atau digunakan hubungan stimulus respon, makin kuat
hubungan itu. Praktek perlu disertai dengan “reward”
3) “Law of effect” :
Bilamana
terjadi hubungan antara stimulus dan respon, dibarengi dengan “state of
affairs” yang memuaskan, maka hubungan itu menjadi lebih kuat. Bilaman
hubungan dibarengi ”state of affairs” yang menunggu, maka kekuatan
hubungan menjadi berkurang
Selanjutnya
Dalyono (2005:31) menyebutkan ciri–ciri belajar dengan “trial-and-error”
yaitu : (a).ada motif pendorong aktivitas; (b).ada berbagai respon terhadap
situasi; (c).ada eliminasi
respon–respon yang gagal/salah dan; (d) ada kemajuan reaksi–reaksi
mencapai tujuan
b) Skinner’s Operant Conditioning
Seperti
halnya kelompok penganut psikologi modern, Skinner mengadakan pendekatan
behavioristik untuk menerangkan tingkah laku. Pada tahun 1938, B.F. Skinner
dikenal sebagai tokoh behavioris dengan pendekatan model instruksi langsung dan
meyakini bahwa perilaku dikontrol melalui proses operant conditioning. Di mana
seorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement
yang bijaksana dalam lingkungan relatif besar. Seperti halnya Thorndike,
Skinner dalam Soemanto (2006:125) menganggap “reward” atau “reinforcement”
sebagai faktor terpenting dalam proses belajar. Skinner berpendapat bahwa
tujuan psikologi adalah meramal dan mengontrol tingkah laku. Selanjutnya
Skinner membagi dua jensi respon dalam proses belajar yakni :
1) Respondents
: respon yang terjadi karena stimuli
khusus
2) Operants
: respon yang terjadi
karena situasi random
Operants
conditioning, suatu situasi belajar dimana suatu respons
dibuat lebih kuat akibat reinforcement langsung. Operants
conditioning menjamin respon terhadap stimuli. Ada beberapa jenis stimuli
(Soemanto, 2006:126) diantaranya :
1) Positive
reinforcement : panyajian stimuli yang meningkatkan
probabilitas suatu respons;
2) Negative
reinforcement : pembatasan stimuli yang tidak
menyenangkan, yang hanya jika dihentikan akan mengakibatkan probalilitas respon;
3) Hukuman
: pemberian stimulus yang tidak menyenangkan misalnya “contradiction or
reprimand”. Bentuk hukuman lain berupa penagguhan stimulus yang
menyenangkan (removing a pleasant or reinforcing stimulus);
4) Primary
reinforcement : stimuli pemenuhan kebutuhan – kebutuhan
fisiologis :
5) Secondary
or learned reinforcement ; (6) Modifikasi
tingkah laku guru : perlakuan guru terhadap murid berdasarkan minat dan
kesenangan mereka
C. Kelebihan
dan kekurangan Teori Kognitif
1. Kelebihan
dari metode pembelajaran kognitif
Teori kognitif adalah sebuah perubahan
persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk
perubahan perilaku, melainkan manusia juga mempunyai pengalaman dan pengetahuan
yang berbeda di dalam diri setiap manusia yang berupa struktur kognitif, proses
belajar kognitif akan berjalan dengan baik apabila di berikan materi pelajaran
baru dari penyaji sehingga si penerima tidak merasa bosan.
Teori pembelajaran kognitif memiliki
kelebihan sebagai berikut:
a) Sebagian
besar dalam kurikulum pendidikan negara Indonesia lebih menekankan pada teori
kognitif yang mengutamakan pada pengembangan pengetahuan yang dimiliki pada
setiap individu.
b) Pada
metode pembelajaran kognitif pendidik hanya perlu memeberikan dasar-dasar dari
materi yang diajarkan unruk pengembangan dan kelanjutannya deserahkan pada
peserta didik, dan pendidik hanya perlu memantau, dan menjelaskan dari alur
pengembangan materi yang telah diberikan.
c) Dengan
menerapkan teori kognitif ini maka pendidik dapat memaksimalkan ingatan yang
dimiliki oleh peserta didik untuk mengingat semua materi-materi yang diberikan
karena pada pembelajaran kognitif salah satunya menekankan pada daya ingat
peserta didik untuk selalu mengingat akan materi-materi yang telah diberikan.
d) Menurut
para ahli kognitif itu sama artinya dengan kreasi atau pembuatan satu hal baru
atau membuat suatu yang baru dari hal yang sudah ada, maka dari itu dalam
metode belajar kognitif peserta didik harus lebih bisa mengkreasikan hal-hal
baru yang belum ada atau menginovasi hal yang yang sudah ada menjadi lebih baik
lagi.
e) Metode
kognitif ini mudah untuk diterapkan dan juga telah banyak diterapkan pada
pendidikan di Indonesia dalam segala tingkatan
2. Kelemahan
dari metode pembelajaran kognitif
Selain meninjau dari segi kelebihan
teori kognitif, berikut adalah beberapa kelemahan dari metode pembelajaran
kognitif:
a) Pada
dasarnya teori kognitif ini lebih menekankan pada kemampuan ingatan peserta
didik, dan kemampuan ingatan masing-masing peserta didik, sehingga kelemahan
yang terjadi di sini adalah selalu menganggap semua peserta didik itu mempunyai
kemampuan daya ingat yang sama dan tidak dibeda-bedakan.
b) Adakalanya
juga dalam metode ini tidak memperhatikan cara peserta didik dalam
mengeksplorasi atau mengembangkan pengetahuan dan cara-cara peserta didiknya
dalam mencarinya, karena pada dasarnya masing-masing peserta didik memiliki
cara yang berbeda-beda.
c) Apabila
dalam pengajaran hanya menggunakan metode kognitif, maka dipastikan peserta
didik tidak akan mengerti sepenuhnya materi yang diberikan.
d) Jika
dalam sekolah kejuruan hanya menggunakan metode kognitif tanpa adanya metode
pembelajaran lain maka peserta didik akan kesulitan dalam praktek kegiatan atau
materi.
e) Dalam
menerapkan metode pembelajaran kognitif perlu diperhatikan kemampuan peserta
didik untuk mengembangkan suatu materi yang telah diterimanya.
D. Aplikasi
praktis teori kognitif dalam pembelajaran
1. Penalaran
Deduktif
Adalah proses penalaran dari satu atau
lebih pernyataan universal terkait dengan apa yang diketahui untuk mencapai
satu kesimpulan logis tertentu. Penalaran deduktif merupakan proposisi logis
didasarkan pada pernyataan tegas yang bisa benar atau salah dalam sebuah
argumen logis premis adalah proposisi yang membentuk argumentasi-argumentasi.
a) Penalaran
Deduktif Proses Kognitif
Dalam konteks psikologi kognitif,
Sternberg (2008:425) menyatakan penalaran deduktif berguna karena membantu
manusia menghubungkan berbagai preposisi untuk mencapai kesimpulan. Beberapa
kesimpulan ini masuk akal sementara yang lain tidak. Tetapi sebagian besar
kesulitan menalar ini terletak di dalam upaya memahami bahasa masalah–masalah
(Girotto, 2004).
b) Penalaran
Deduktif Proses Entry Behavior
Penalaran deduktif dapat kita tingkatkan
dengan mengembangkan strategi-strategi untuk menghindari pembuatan kesalahan.
Dalam entry behavior kita dapat meningkatkan efektifitas proses kerja dengan
pembalikan negasi-negasi universal. Prosesnya dengan mengambil waktu untuk
mempertimbangkan contoh–contoh yang sebaliknya dan menciptakan model-model
mental yang lebih banyak.
2. Jaringan
dan Skema
Jaringan merupakan cara manusia
mengoranisasikan konsep, sedangkan skema merupakan pendekatan untuk memahami
bagaimana konsep berkaitan di dalam pikikiran.
a) Jaringan
dan Skema Proses Kognitif
Skema adalah sebuah kerangka mental bagi
pengorganisasian pengetahuan. Skema menciptakan struktur bermakna dari
konsep-konsep terkait. Skema bagi psikologi kognitif merupakan sebuah elaborasi
yang sangat kaya (Sternberg, 2008: 269)
b) Jaringan
dan Skema Proses Entry Behavior
Proses berpikir dalam matematika
membentuk model deklaratif dan prosedural dimana dalam menyelasikan sebuah
masalah dilakukan proses analisis. Hal ini paling sering dibaut dalam pohon
masalah atau jejaring pada teori graf. Analoginya dalam proses berpikir
didukung oleh pengalaman – pengalaman yang diperoleh melalui latihan – latihan
sehingga proses pembentukan mental dapat terwujud.
E. Kelebihan dan Kekurangan Teori Behavior
Dalam setiap teori tidak lepas dengan adanya kelebihan
dan kekurangan, maka dalam penerapan teori pembelajaran berbasis behavioristik
menjumpai kekurangan dan kelebihan diantaranya :
1. Kelebihan Teori Behavior
Teori behaviorisme dalam pendidikan memiliki sejumlah
besar pengikut sehingga memiliki implikasi yang nyata dalam pembelajaran.
Bahkan harus diakui banyak pendidik diseluruh belahan dunia ini yang masih mempraktekan
aliran behaviorisme. Teori bihaviorisme dengan model hubungan S-R mendukung
siswa sebagai individu yang pasif.
Pembelajaran yang berpijak yang dirancang berdasarkan
teori behaviorisme memandang pengetahuan bersifat objektif, tetap, pasti dan tidak
berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah
perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar merupakan transfer pengetahuan dari
guru kepada siswa. Siswa diharapkan memiliki pemahaman yang sama tentang
pengetahuan yang diajarkan. Proses berpikir utama siswa adalah “meng-copy and
paste” pengetahuan seperti apa yang dipahami pengajar.
2. Kekurangan Teori Behavior
Dalam proses belajar mengajar siswa dianggap sebagai
objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pengajar.
Oleh karena itu, kurikulum dikembangkan secara terstruktur dengan menggunakan
standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus diraih oleh
siswa. Dalam penilaian (assesment) hasil tes tulis, hasil uji kinerja yang
dapat diamati (observable), sehingga hal-hal yang tidak teramati seperti sikap,
minat, bakat, motivasi dan sebagainya kurang dijangkau oleh penilaian.
F. Aplikasi teori behavioristik dalam pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya
terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga
kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model
hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya
perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement
dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran
tergantung dari beberapa hal seperti tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran,
karakteristik pembelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang
bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan
telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan,
sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pembelajar. Fungsi mind
atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis
dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini
ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pembelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama
terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar
atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pembelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu
membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para
pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan
standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para
pembelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pembelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat
diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam
proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses
pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pembelajar
untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri.
Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam
menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau
robot. Akibatnya pembelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi
yang ada pada diri mereka.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik
ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “mimetic”,
yang menuntut pembelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah
dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi
pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta
mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan
kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada
buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali
isi buku teks/buku wajib tersebut.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara
terpisah, dan biasanya menggunakan paper
and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar.
Maksudnya bila pembelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru,
hal ini menunjukkan bahwa pembelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya.
G. Cognitive
Entry Behavior
Cognitive entry behavior merupakan istilah
lain untuk menjelaskan tipe-tipe prerequisite pengetahuan, keterampilan dan
kompetensi yang esensial untuk belajar pada tugas-tugas yang baru. Dalam responsive
evaluation, entry behavior termasuk dalam klasifikasi data antecedent yang dapat berupa status seorang siswa
sebelum mengikuti pelajaran seperti : bakat, pengalaman sebelumnya, minat dan
kemauan. Hasil belajar dalam cognitive entry behavior
terukur melalui cognitive entry characteristics,
affective entry characteristics dan
kualitas pembelajaran itu sendiri
Kemampuan awal (entry
behavior) berbeda
dengan kamampuan dasar (aptitude). Entry
behavior menunjuk pada kemampuan prasyarat (prerequisite
background) yang
diperlukan sebagai dasar pengetahuan dan keterampilan yang akan dipelajari,
yang sifatnya menjurus pada aspek tertentu, sedangkan kemampuan dasar bersifat
lebih umum. Dalam merumuskan cognitive entry behavior
maka diperlukan langkah awal persiapan berupa desain cognitive
entry behavior plus outputnya sebagai berikut:
1.
mengidentifikasi entry
behavior; outputnya adalah entry behavior calon peserta pelatihan;
2.
merumuskan tujuan pembelajaran (objective);
outputnya adalah rincian tujuan pembelajaran yang sudah spesifik, operasional
dan dapat diukur;
3.
menyusun performance test ; tentunya hasilnya adalah berbagai
bentuk dan jenis test yang relevan untuk mengukur ketercapaian tujuan
pembelajaran tersebut;
mengurutkan performance (instructional
analysis); dan menentukan aktifitas (strategi: metode, media,
waktu) yang relevan untuk pencapaian tujuan pelatihan tersebut;
NUHUN DEN, ABAH JADI PUNYA PEGANGAN
BalasHapus