Indahnya Kebersamaan

Indahnya Kebersamaan

Selasa, 12 Mei 2015

Filsafat 7

ILMU DAN KEBUDAYAAN

A.      Pengertian Manusia  dan Kebudayaan
Kebudayaan didefinisikan untuk pertama kali oleh E. B. Taylor padatahun 1871, lebih dari seratus tahun yang lalu, dalam bukunya Primitive culture di mana kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya  yang  diperoleh manusia sebagai ang­gota masyarakat.
Meskipun pada tahun 1952 Kroeber dan Kluckholn menginventarisasikan lebih dari 150 definisi tentang kebudayaan yang di hasilkan oleh publikasi tentang kebudayaan selama lebih kurang tiga perempat abad 3) namun pada dasarnya tidak terdapat perbedaan yang bersifat prinsip dengan definis ipertama yang dicetuskan Taylor. Kuntja­raningrat (1974) secara lebih terperinci membagi kebudayaan menjadi unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, ke­senian, sistem mata pencaharian serta sistem teknologi dan peralatan.
Manusia dalam kehidupannya mempunyai kebutuhan yang banyak sekali. Adanya kebutuhan hidup inilah yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan ter­sebut. Dalam hal ini, menurut Ashley Montagu, kebudayaan men­cerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya.Manusia berbeda dengan binatang bukan saja dalam banyaknya ke­butuhan namun juga dalam cara memenuhi kebutuhan tersebut. Kebu­dayaanlah, dalam konteks ini, yang memberikan garis pemisah antara manusia dan binatang. Maslow mengidentifikasikan lima kelompok kebutuhan manusia yakni kebutuhan fisiologi, rasa aman, afiliasi, harga diri dan pengembangan potensi. Binatang kebutuhannya kepada dua kelompok pertama dari kategori Maslow yakni fisiologis dan rasa aman serta memenuh kebutuhan ini secara Sedangkan manusia tidak mempunyai kemampuan bertindak otomatis yang berdasarkan instink tersebut dan oleh sebab itu dia berpaling kepada kebudayaan yang mengajarkan cara hidup. Pada hakikatnya menurut Maviesdan John Biesanz, kebudayaan merupakan alat penyelamatan (survival kit) kemanusiaan di mukabumi.
Ketidak mampuan manusia untuk bertindak instink diimbangi oleh kemampuan lainya yakni ki, bersifat fisik. Kemampuan belajar ini dimungkinkan oleh berkembangnya inteligensi dan berpikir simbolik. Terlebih-lebih lagi manusia mempunyai budiya ini merupakan poly kejiwaan yang di dalamnya terkandung. "dorongan hidup yang dasar, inseting, perasaan, denganpikiran, budi inilah yang menyebabkan manusia mengembang.
Nilai-nilai budaya ini adalah jiwa dari kebudayaan dan menjadi dasar dari segenap wujud kebudayaan. Di samping nilai-nilai budaya ini kebudayaan diwujudkan dalam bentuk tata hidup yang merupakan kegiatan manusia yang mencerminkan nilai budaya yang dikandungnya. Pada dasarnya tata hidup merupakan pencerminan yang kongkret dari nilai budaya yang bersifat abstrak: kegiatan manusia dapa tditangkap oleh pancaindera Sedangkan nilai budaya hanya tertangguk oleh manusia. Di samping itu make nilai budaya dan tata hidup ditopang oleh perwujudan kebudayaan yang ketiga yang berup kebudayaan. Sarana kebudayaan ini pada dasarnya merupakan judan yang bersifat fisik yang merupakan produk dari kebudayaan atau alat yang memberikan kemudahan dalam berkehidupan.

Keseluruhan faset dari kebudayaan tersebut di atas sangat berbungannya dengan pendidikan sebab semua materi yang terkandung dalam suatu kebudayaan diperoleh manusia secara sadar lewat proses belajar. Lewat kegiatan belajar inilah diteruskan kebudayaan darigene­rasi yang situ kepada generasi selanjutnya Dengan demikian make ke­budayaan diteruskan dari waktu kewaktu, kebudayaan yang telah lalu bereksistensi pada masa kini dan kebudayaan masa kini disampaikan kemasa yang akan datang. Atau, menurut Alfred Korzybski, kebudayaan mempunyai kemampuan mengikat waktu. Tanaman mengikat bahan­-bahan kimiawi, binatang mengikat ruang, tetapi hanya manusia seorang yang mampu mengikat waktu.
Dalam kaitan pendidikan dengan kebudayaan inilah akan dicoba di­kaji beberapa masalah pokok yang patu tmendapatkan perhatian. Peng­ajian ini ditujukan untuk menyelami beberapa gejala yang mempunya pengaruh penting dalam proses pendidikan kita. Masalah ini akan dide­kati dari segi nilai-nila budayi sebab obyek inilah yang merupakandasar ideal bagi perwujudan kebudayaan lainnya.
Banyak definisi kebudayaan yang disampaikan oleh para ahli, sebagiannya adalah :
Kebudayaan adalah hasil karya cipta (pengolahan, pengerahan, dan penghargaan terhadap alam) oleleh manusia dengan kekuatan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi, imajinai, dan fakultas-fakultas ruhaniah lainnya) dan raganya, yang menyatakan dalam pelbagai kehidupan ruhaniah ataupun kehidupan lahiriah manusia, sebagai jawaban atas segala tantangan, tuntutan dan dorongan dari intra diri manusia dan ekstra diri manusia, menuju arah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan (spiritual dan material) manusia, baik “individu” maupun “masyarakat.”
Soenarjo kolopaking dalam prasarannya “kebudayaan, Masyarakat, dan perekonomian”, dalam kongres kebudayaan Indonesia akhir Agustus 1948 mengatakan: “kebudayaan atau cultur adalah totalitar daripada milik dan hasil usaha (prestatie) manusia yang diciptakan oleh kekuatan jiwanya dan oleh proses saling mempengaruhi antara kekuatan-kekuatan jiwa tadi dan antara jiwa manusia yang satu dengan yang lainnya. Kebudayaan adalah hasil yang nyata dari pertumbuhan dan perkembangan rohani dan kecerdasan suatu bangsa.
Pada tahun 1871, E.B. Tylor dalam bukunya “Primitive Culture”  mendifiniskan kebudayaan sebagai keseluruhan yang mencakup  pengetahuan, kepercayaan , seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kemudian pada tahun  1952, Kroeber dan Kluckholn menginventarisir lebih dari 150 definisi tentang kebudayaan yang dihasilkan oleh publikasi tentang kebudayaan selama kurang lebih tiga perempat abad, namun pada dasarnya tidak terdapat perbedaan yang bersifat prinsip dengan definisi pertama yang dicetuskan Taylor. Pada tahun 1974 Kuntjaraningrat membagi kebudayaan menjadi unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa,  kesenian, sistem mata pencaharian, serta sistem tekhnologi dan peralatan.

Ø  Hubungan Manusia dan Kebudayaan
Dalam kehidupannya manusia mempunyai banyak sekali kebutuhan maka hal inilah yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut. Dalam pemenuhan kebutuhan ini manusia berbeda dengan binatang, kebudayaanlah dalam konteks ini yang memberikan garis pemisah antara manusia dan binatang. Maslow mengindentifikasikan lima kelompok kebutuhan manusia yakni kebutuhan fisiologi, rasa aman, afiliasi, harga diri dan pengembangan potensi. Sementara binatang kebutuhannya terpusat pada dua klompok pertama dari kategori maslow yakni kebutuhan fisiologis dan rasa aman dan memenuhi kebutuhan ini secara instinktif. Karena manusia tidak mempunyai kemampuan bertindak secara otomatis yang berdasarkan instink tersebut maka manusia berpaling kepada kebudayaan yang mengajarkan tentang cara hidup.
Ketidakmampuan manusia untuk bertindak secara instinktif ini manusia diimbangi oleh kemampuan lain yakni kemampuan untuk belajar, berkomunikasi dan menguasai objek-objek yang bersifat fisik disamping itu manusia mempunyai budi yang merupakan pola kejiwaan yang didalamnya terkandung dorongan-dorongaan hidup yang dasar instink, perasaan, pikiran, kemauan dan fantasi. Budi inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan suatu hubungan yang bermakna dengan alam sekitarnya dengan jalan memberi penilaian terhadap objek dan kejadian. Maka pilihan inilah yang menjadi tujuan dan isi kebudayaan.
Nilai-nilai budaya ini adalah jiwa dari kebudayaan dan menjadi dasar dari segenap wujud kebudayaan. Kebudayaan diwujudkan dalam bentuk tata hidup yang merupakan kegiatan manusia yang mencerminkan nilai budaya yang dikandungnya, pada dasarnya tata hidup merupakan  pencerminan yang konkrit dari nilai budaya yang bersifat abstrak. Kegiatan manusia dapat ditangkap oleh panca indera sedangkan nilai budaya hanya tertangguk oleh budi manusia, maka nilai budaya dan tata hidup manusia ditopang oleh perwujudan kebudayaan yang ketiga yang berupa sarana kebudayaan, sarana kebudayaan ini merupakan perwujudan yang bersifat fisik yang merupakan  produk dari kebudayaan atau alat yang memberikan kemudahan dalam berkehidupan.
Keseluruhan fase dari kebudayaan itu erat hubungannya dengan pendidikan sebab semua materi yang terkandung dalam suatu kebudayaan diperoleh manusia secara sadar lewat proses belajar. Lewat kegiatan belajar inilah kebudayaan diteruskan dari generasi yang satu pada generasi selanjutnya.

Ø  Hubungan Ilmu dan Kebudayaan
Keterkaitan ilmu dan kebudayaan dapat dilihat dari beberapa sisi, sebagai berikut:
a.     Perubahan Sosial
Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing. Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi  sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Dan pemahaman itu berkembang berdasarkan pemahaman dari suatu kebudayaan dan satu pemahaman akan berubah berdasarkan ilmu yang dipahaminya.
D. O’Neil, dalam “Processes of Change mengatakan : “Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial”:
1.    Tekanan kerja dalam masyarakat
2.    Keepektifan komunikasi
3.    Perubahan lingkungan alam
Perubahan budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh, berakhirnya zaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian memancing inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan.

b.     Penetrasi kebudayaan
Yang dimaksud dengan penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara:
1.        Penetrasi damai (penetration pasifique)
 Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia. Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat.
 Karena nilai-nilai agama yang terkandung berfungsi sebagai sumber moral bagi segenap kegiatan hakikat semua upaya manusia dalam lingkup kebudayaan haruslah ditujukan untuk meningkatkan martabat manusia. Sebab kalau tidak maka hal ini bukanlah proses kebudayaan melainkan dekadensi/ keruntuhan peradaban dalam hal ini maka agama memberikan kompas dan tujuan sebuah makna atau semacam arti yang membedakan seorang manusia dari wujud berjuta galaksi meskipun bidang ilmu dan teknologi berkembang pesat tetapi ternyata tidak memberikan kebahagiaan yang hakiki dan ini menyebabkan manusia berpaling kembali kepada nilai-nilai agama seperti juga seni dengan ilmu maka pun agama dengan ilmu saling melengkapi : kalau ilmu bersifat nisbi dan pragmatis maka agama adalah mutlak dan abadi. Albert Einstein mengungkapna hakikat ini dengan kata-kata “Ilmu tanpa agama adalah buta, Agama tanpa Ilmu adalah lumpuh”.[5][14]
2.        Penetrasi kekerasan (penetration violante)
 Masuknya sebuah kebudayaan  dengan cara memaksa dan merusak. Contohnya, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat



B.       ILMU DAN PENGEMBANGAN BUDAYA NASIONAL
Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan, dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Kebudayaan di sini merupakan system nilai, tata hidup dan sarana bagi manusia dalam kehidupannya.
Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi. Pada satu pihak pengembangan ilmu dalam suatu masyarakat tergantung dari kondisi kebudayaannya. Sedangkan di pihak lain, pengembangan ilmu akan mempengaruhi jalannya kebudayaan. Talcot parsons mengatakan; ilmu dan kebudayaan saling mendukung satu sama lain: dalam beberapa tipe masyarakat ilmu dapat berkembang secara pesat, demikian pula sebaliknya, masyarakat tersebut tak dapat berfungsi dengan wajar tanpa didukung perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapan.
Dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional ilmu mempunyai peranan ganda. Pertama, ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung terselenggaranya pengembangan kebudayaan nasional. Kedua, ilmu merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukkan watak suatu bangsa. Maka menurut fungsinya, ilmu bisa digolongkan menjadi dua golonagan. Pertama ilmu sebagai suatu cara berpikir, dan kedua ilmu sebagai asas moral. Dalam hal ini penulis akan sedikit menjelaskan bagaimana ilmu bisa dikatakan sebagai suatu cara berpikir dan ilmu sebagai asas moral tersebut.

1.        Ilmu sebagai suatu cara berpikir
Ilmu merupakan suatu cara berpikir dalam menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diandalkan. Berpikir bukan satu-satunya cara dalam mendapatkan pengetahuan, demikian juga ilmu bukan satu-satunya produk dari kegiatan berpikir. Ilmu merupakan  produk dari proses berpikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat disebut sebagai berpikir ilmiah.
 Beberapa karakteristik ilmu sebagai proses atau syarat berpikir ilmiah. Pertama, ilmu mempercayai rasio sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Kedua, alur jalan pikiran yang logis yang konsisten dengan pengetahuan yang telah ada. Ketiga, pengujian secara empiris sebagai kriteria kebenaran objektif.  Setelah  itu maka, pernyataan yang dijabarkan secara logis, dan telah teruji secara empiris,  maka ilmu dapat dianggap benar secara ilmiah dan ini akan memperkaya khazanah pengetahuan ilmiah. Ke empat, mekanisme terbuka terhadap koreksi.

2.        Ilmu sebagai asas moral
Ilmu merupakan kegiatan berpikir untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Kriteria kebenaran dalam ilmu adalah jelas sebagaimana yang dicerminkan oleh karakteristik berpikir. Dalam menetapkan suatu pernyataan apakah itu benar atau tidak maka seorang ilmuwan akan mendasarkan penarikan kesimpulannya kepada argumentasi yang terkandung dalam pernyataan itu dan bukan kepada pengaruh yang berbentuk kekuasaan dari kelembagaan yang mengeluarkan pernyataan itu.
Kebenaran bagi kaum ilmuwan mempunyai kegunaan yang universal bagi umat manusia dalam meningkatkan martabat kemanusiaannya. Secara nasional mereka tidak mengabdi golongan, politik atau kelompok-kelompok lainnya, secara internasional mereka tidak mengabdi ras, ideology, dan factor-faktor pembatas lainnya. Karakteristik ini merupakan asas moral bagi kaum ilmuwan yakni meninggikan kebenaran dan pengabdian secara universal.
Dalam perkembangannya dengan bantuan filsafat ilmu yang mencakup 3 asfek kajian yaitu, ontologi, epistemologi, dan aksiologi dan meletakkan kelima unsur manusia (cipta, rasa, karsa, nafsu, dan nurani) yang unifersal tersebut dalam lingkungan kajian epistemiologi maka dapatlah dibangun ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan serta cabang-cabangnya sepeti sosiologi, psikologi, ilmu polotik, ilmu ekonomi, dan manajemen, antropologi, serta cabang-cabang keilmuan lainnya.[6][17]
Harus kita akui bahwa perkembangan ilmu dan kebudayaan sangatlah luas, oleh sebab itu penulis akan sedikit menyinggung perkembangan ilmu di bumi bagian Timur, yaitu :
3.        Zaman Islam
Sejak awal kelahirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu.sebagaimana kita ketahui, bahwa Nabi Muhammad SAW. ketika diutus oleh Allah sebagai rasul, hidup dalam masyarakat yang terbelakang. Kemudian Islam datang menawarkan cahaya penerang yang mengubah masyarakat Arab jahiliyyah  menjadi masyarakat yang berilmu dan beradab.
4.        Taoisme
Taoisme adalah suatu filsafat yang menduduki tempat penting di Cina. Pengaruhnya terhadap kebudayaan Cina memang tidak sebesar seperti konfusianisme, akan tetapi Taoisme mempunyai pandangan metafisik dan spekulatif terhadap kodrat realitas, alam semesta, dan manusia. Kata taoisme diturunkan dari kata tao yang berarti jalan. Pendiri taoisme adalah Lao Tzu. Tao diidentikkan dengan alam semesta. Segala sesuatu dipandang sebagai yang satu. Dan yang satu ini adalah tao. Segala sesuatu diturunkan dari tao.
Selain itu salah satu pemahaman yang paling penting dari para Taois adalah kesadaran bahwa transformasi dan perubahan merupakan gambaran-gambaran esensial dari alam. Para taois melihat seluruh perubahan dalam alam sebagai manifestasi-manifestasi dari situasi tarik menarik yang dinamis dari kutb yin dan yang yang berlawanan, dan kemudian mereka menjadi yakin bahwa setiap pasangan dari kutub tersebut secara dinamis berhubungan satu sama lainnya.
Dengan kata lain, Tao sebagai prinsip totalitas mempunyai dua unsur yang berlawanan yakni yin dan yang. Kedua unsur ini bisa diartikan sebagai terang dan gelap, negatif dan positif, aktif dan pasif, ada dan tidak ada. Dalam taoisme dualisme ini relatif. Dualisme ini berada dalam kontradiksi yang mutlak, namun saling melengkapi dalam fungsinya untuk berbuat apa saja di dunia ini.
5.         Konfusianisme
Konfusianisme adalah filsafat tentang organisasi sosial, tentang akal sehat, dan pemikiran praktis. Ia memberikan sebuah sistem pendidikan dan konvensi-konvensi yang tegas dari etika sosial kepada masyarakat Cina. Salah satu tujuan utamanya adalah membentuk suatu dasar etika untuk sistem keluarga tradisional Cina dengan struktur kompleks dan ritual-ritualnya terhadap pemujaan leluhur. Konfusianisme secara garis besar ditekankan dalam pendidikan anak-anak yang harus mempelajari aturan-aturan dan konvensi-konvensi yang dibuthkan bagi kehidupan bermasyarakat.
Pemikiran konfusianisme dimulai dengan memeriksa dua fungsi utama akal budi manusia (fungsi menilai dan memerintah). Akal budi dimengerti secara fungsional dengan mengacu pada tipe-tipe aktivitas tertentu, misalnya menilai dan mengarahkan tindakan.
6.        Budhisme
Budhisme mengajarkan apa yang perlu untuk mengatasi penderitaan. Budhisme tampil sebagai jalan pelepasan, pembebasan diri dari dunia; jawaban atas kondisi manusia yang menyedihkan yaitu suatu kelahiran kembali dalam hidup yang becirikan penderitaan, kesementaraan, dan ketidakrelaan. Inti ajarannya adalah bahwa di dunia ini kita akan selalu menghadapi kesedihan, penderitaaan, dan kegelisahan. Maka, ajaran Budha adalah untuk menghapus semua penderitaan tersebut.
            Di samping contoh perkembangan ilmu dan kebudayaan seperti penulis bahas di atas, kita tidak boleh lupa akan nilai-nilai yang dikandung dalam ilmu itu sendiri. Dimana Sedikitnya terdapat tujuh nilai  yang terpancar dari hakikat keilmuan yakni; kritis, rasional, logis, obyektif, terbuka, menjunjung kebenaran, dan pengabdian universal. Di manakah lalu peranan ketujuh nilai tersebut dalam pengembangan kebudayaan nasional?
            Pengembangan kebudayaan nasional pada hakikatnya adalah perubahan dari kebudayaan yang sekarang bersifat konvensional ke arah situasi kebudayaan yang lebih mencerminkan aspirasi dan tujuan nasional. Proses pengembangan kebudayaan ini pada dasarnya adalah penafsiran kembali dari nilai-nilai konvensional agar lebih sesuai dengan tuntutan zaman serta, penumbuhan nilai-nilai baru yang fungsional.
            Untuk terlaksananya kedua proses dalam pengembangan nasional tersebut maka diperlukan sifat kritis, rasional, logis, obyektif, terbuka, menjunjung kebenaran, dan pengabdian universal. Pengabdian universal ini  dalam skala nasional, adalah orientasi terhadap kebenaran tanpa ikatan primordial yang mengenakan argumentasi ilmiah sebagai satu-satunya kriteria dalam menentukan kebenaran.

C.      Dua Pola Kebudayaan
C.P. Snow adalah seorang ilmuwan sekaligus pengarang buku (dalam bukunya yang sanga provokatif The Two Cultures) yang mengingatkan negara-negara Barat akan adanya dua pola kebudayaan yakni masyarakat  ilmuwan dan non-ilmuwan, yang menghambat kemajuan di bidang ilmu dan teknologi.
Di negara Indonesia juga telah diterapkan dalam bidang keilmuwan itu sendiri, dengan dan membentuk kebudayaan sendiri. Polarisasi ini cenderung kepada beberapa kalangan tertentu untuk memisahkan ilmu ke dalam dua golongan yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Kedua golongan ini dianggap memiliki perbedaan yang sangat segnifikan,di mana keduanya seakan membentuk diri sendiri yang masing-masing terpisah sehingga terdapat dua kebudayaan dalam bidang keilmuwan yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial.
Namun perbedaaan itu hanyalah bersifat  teknis yang tidak menjurus kepada perbedaan yang fundamental karena dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari kedua ilmu tersebut adalah sama. Metode yang digunakan di dalam keduanya adalah metode ilmiah yang sama pula, tak terdapat alasan yang bersifat metodologi yang membedakan antara ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam.
Ilmu-ilmu alam mempelajari dunia fisik yang relatif tetap dan mudah untuk dikontrol. Objek-objek penelaahan ilmu-ilmu alam dapat dikatakan tidak pernah mengalami perubahan baik dalam perspektif waktu maupun tempat.  Ilmu bukan bermaksud mengumpulkan berbagai fakta tetapi ilmu bertujuan untuk mencari penjelasan dari gejala-gejala yang kita temukan dan memungkinkan kita dapat mengetahui sepenuhnyah akikat objek yang kita hadapi,sehingga pengetahuan dapat memberi kita alat untuk menguasai masalah tersebut. Hal ini berlaku baik bagi ilmu-ilmu alamiah maupun ilmu-ilmu sosial.
Dimensi perubahannya hanyalah merupakan satu variabel dalam sistem pengkajian begitu juga tingkat generalisasinya, ilmu-ilmu alamiah dengan ilmu-ilmu sosial bedanya hanya terletak dalam soal gradasi,dimana tingkat keumumannya suatu teori ilmu sosial harus lebih jauh diperinci dengan memperhitungkan faktor-faktor yang bervariasi Ilmu-ilmu sosial mengalami masalah dalam menganalisis kuantitatif yakni :
1.        Sukarnya melakukan pengukuran karena mengukur aspirasi atau emosi seseorang manusia.
2.        Banyaknya variabel yang mempengaruhi tingkah laku manusia.Sehingga menyebabkan ilmu-ilmu alam  menjadi relatif maju karena ilmu-ilmu alam dapat menganalisis data secara kuantitatif dengan mengisolasikan dalam kegiatan laboratoris. Sedangkan teori  ilmu-ilmu sosial merupakan alat bagi manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi,seperti ilmu-ilmu alamsehingga ilmu-ilmu sosial harus cermat dan tepat. Maka hukum penawaran dan permintaan yang bersifat kualitatif tidak lagi memenuhi syarat karena tidak memungkinkan jika kita harus menghitung derajat kenaikan inflansi secara kuantitatif.
Ilmuwan dalam bidang sosial haruslah berusaha lebih sungguh-sunggguh untuk pengukuran yang rumit dan variabel yang relatif banyak membutuhkan pengetahuan matematika dan statistika yang lebih maju dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam. Namun adanya kesukaran dalam pengukuran ini malah dijadikan ilmu-ilmu sosial bertindak regresif dan membentuk dunianya sendiri yang menjauh dari matematika serta statistika, sehingga yang memperkuat matematika dan statistika adalah ilmu-ilmu alam. Oleh karena itu berkembanglah dua kebudayaan yang jurang perbedaannya makin melebar dengan sendirinya tanpa kita sadari adanya.
Secara sosiologis terdapat kelompok-kelompok yang memberi nafas baru kepada ilmu-ilmusosial dengan mengembangakan ilmu-ilmu peri laku manusia yang bertumpu kepada ilmu-ilmu sosial dimana perbedaan yang utama antara keduanya hanya terletak dalam keinginan untuk menjadikan ilmu-ilmu tentang manusia menjadi sesuatu yang lebih dapat diandalkan dan kuantitatif.
 Ilmu-ilmu peri laku lebih mengkaji penyusunan teori secara deduktif sebagaimana yang biasanya ada dalam ilmu-ilmu sosial namun penalaran deduktif digabungkan dengan proses pengujian induktif. Dan ilmu ekonomi yang paling pertama memasuki tahap kuantitatif sebelum ilmu-ilmu peri laku.  Adanya dua kebudayaan yang terbagi ke dalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial masih terdapat di Indonesia. Dapat dicerminkan adanya  jurusan Pasti-Alam dan Sosial-Budaya dalam sistem pendidikan kita.
Jika kita menginginkan bidang keilmuan mencakup ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosialmaka dualisme harus segera dibongkar karena dapat menghambat psikologis dan Intelektual bagi pengembangan keilmuan di negara kita .Meskipun terdapat argumen asumsi dalam pembagian jurusan tersebut,yaitu :
a.         Asumsi pertama mengemukakan bahwa manusia mempunyai bakat yang berbeda dalam mendidikan matematika sehingga harus dikembangkan pola pendidikan yang berbeda pula.
b.        Asumsi yang kedua menganggap ilmu-ilmu sosial kurang memerlukan pengetahuan matematika sehingga dapat menjuruskan keahliannya dibidang keilmuan ini.
Kita harus menganalisis dahulu tujuan pendidikan agar tidak salah pengasumsian.
a.       Pendidikan bertujuan : Pendidikan analitik maka yang penting adalah penguasaan berpikir matematika yang memungkinkan adanya suatu analisis hingga terbentuknya suatu rumusan statistik.
b.      Pendidikan simbolik yang penting adalah pengetahuan mengenai kegunaan rumus tersebut serta penalaran deduktif dalam penyusunan meskipun tidak seluruhnya merupakan analisis matematika Jadi adanya pendekatan dikotom dalam pendekatan pendidikan matematika ini tidak akan bisa memecahkan semua persoalan, namun paling tidak terdapat suatu jalan luar yang pragmatis dari dilema yang dihadapi sistem pendidikan kita dan harus adanya sikap kehati-hatian. Karena manusia adalah produk dari suatu proses belajar dimana tercakup karakter cara berpikir yang berkembang sesuai tahapannya. Suatu usaha yang fundamental dan sistematis dalm menghadapi masalah ini harus adanya usaha.
Adanya dua pola kebudayaan dalam bidang keilmuan kita bukan hanya merupakan suatu yang regresif melainkan juga destruktif,bukan saja bagi kemajuan ilmu itu sendiri tetapi juga bagipengengembangan peradaban secara keseluruhan.  Sehingga tidak ada pemisah diantara keduanya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar