HAKEKAT DAN KEGUNAAN ILMU
A.
Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan
bagian dari epistimologi yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Filsafat ilmu berkaitan erat dengan epistemologi
dan ontologi. Filsafat Ilmu dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat
ilmu-ilmu social, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara
ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dimana keduanya memiliki
ciri-ciri keilmuan yang sama.
Filsafat ilmu berusaha
untuk dapat menjelaskan masalah-masalah, seperti apa dan
bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana
konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan
serta memanfaatkan alam melalui teknologi. Filsafat ilmu juga mengkaji tentang
cara menentukan validitas dari sebuah informasi, formulasi dan penggunaan
metode ilmiah, macam-macam penalaran yang dapat digunakan untuk mendapatkan
kesimpulan, serta implikasi metode dan model ilmiah terhadap masyarakat dan
terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
Salah satu konsep
mendasar tentang filsafat ilmu adalah empirisme atau ketergantungan pada bukti.
Empirisme adalah cara pandang bahwa ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman
yang kita alami selama hidup kita. Di sini, pernyataan ilmiah berarti harus
berdasarkan dari pengamatan dan pengalaman. Hipotesa ilmiah dikembangkan dan
diuji dengan metode empiris, melalui berbagai
pengamatan dan eksperimentasi. Setelah pengamatan dan eksperimentasi ini dapat
selalu diulang dan mendapatkan suatu hasil yang konsisten, hasil ini dapat
dianggap sebagai bukti yang dapat digunakan untuk mengembangkan teori-teori yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena alam.
B.
Hakikat Ilmu
Apakah ilmu itu? Moh. Nazir, Ph.D (1983:9) mengemukakan bahwa
ilmu tidak lain dari suatu pengetahuan, baik natural ataupun sosial, yang sudah
terorganisir serta tersusun secara sistematik menurut kaidah umum. Sedangkan
Ahmad Tafsir (1992:15) memberikan batasan ilmu sebagai pengetahuan logis dan
mempunyai bukti empiris. Sementara itu, Sikun Pribadi (1972:1-2) merumuskan
pengertian ilmu secara lebih rinci (ia menyebutnya ilmu pengetahuan), bahwa :
“Obyek ilmu pengetahuan ialah dunia fenomenal, dan metode pendekatannya
berdasarkan pengalaman (experience)
dengan menggunakan berbagai cara seperti observasi, eksperimen, survey, studi
kasus, dan sebagainya. Pengalaman-pengalaman itu diolah oleh fikiran atas dasar
hukum logika yang tertib. Data yang dikumpulkan diolah dengan cara analitis,
induktif, kemudian ditentukan relasi antara data-data, diantaranya relasi
kausalitas. Konsepsi-konsepsi dan
relasi-relasi disusun menurut suatu sistem tertentu yang merupakan suatu
keseluruhan yang terintegratif. Keseluruhan integratif itu kita sebut ilmu
pengetahuan.” Di lain pihak, Lorens Bagus (1996:307-308) mengemukakan bahwa
ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke obyek (atau alam obyek)
yang sama dan saling keterkaitan secara logis.
Dari beberapa pengertian ilmu di atas dapat diperoleh
gambaran bahwa pada prinsipnya ilmu merupakan suatu usaha untuk
mengorganisasikan dan mensistematisasikan pengetahuan atau fakta yang berasal
dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, dan dilanjutkan
dengan pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode
yang biasa dilakukan dalam penelitian ilmiah (observasi, eksperimen, survey,
studi kasus dan lain-lain).
Salah satu sendi
masyarakat modern adalah ilmu dan teknologi. Kaum ilmuwan tidak boleh picik dan
menganggap ilmu dan teknologi itu alpha dan omega dari
segala-galanya, masih terdapat banyak lagi
sendi-sendi lain yang menyangga peradaban manusia yang lebih baik.
Demikian juga masih terdapat kebenaran-kebenaran lain di samping kebenaran
keilmuan yang melengkapi harkat kemanusiaan yang hakiki. Namun bila kaum
ilmuwan konsekuen dengan pandangan hidupnya, baik secara intelektual
maupun secara moral, maka salah satu penyangga masyarakat modern itu
akan berdiri dengan kokoh.
Ilmu (atau ilmu pengetahuan)
adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan
pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi
ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan
kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya
Dewasa ini ilmu sudah berada diambang kemajuan
yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi, ilmu
bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi,
namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat manusia itu sendiri atau dengan
perkataan lain ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai
tujuan hidupnya namun juga menciptakan hidup itu sendiri. Menghadapi kenyataan
ini ilmu pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana adanya mulai
mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya, untuk apa sebenarnya ilmu itu
harus dipergunakan? dimana batas kewenangan penjelajahan keilmuan? kearah mana
perkembangan keilmuan harus diarahkan?
Ontologi diartikan sebagai pengkajian mengenai hakikat
realitas dari objek yang ditelaah dalam membuahkan pengetahuan, aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Pertanyaan mengenai
hakikat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara orang dapat mengatakan bahwa
1. Nilai sepenuhnya
berhakikat subjektif, ditinjau dari pandangan ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya
tergantung pada
pengalaman-pengalaman mereka.
Atau dapat pula orang mengatakan,
2. Nilai-nilai merupakan
kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontolog, namun tidak terdapat dalam
ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat
diketahui melalui akal. Pendirian ini berpandangan bahwa ilmu memiliki hakikat “Objektivisme Logis“ dan akhirnya orang dapat mengatakan bahwa,
3. Nilai-nilai merupakan
unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan, yang kemudian disebut dengan “Objektivisme
Metafisik“
Selain itu ada pula pembicaraan mengenai
apakah hakikat pengalaman mengenai nilai? Apakah pengalaman tersebut
semata-mata merupakan respon perasaan terhadap keadaan tertentu seperti yang
dikatakan oleh sejumlah aktifis? Apakah pengalaman tersebut merupakan hasil
pengenalan nilai itu sendiri secara lansung seperti yang di katakan oleh Filsuf
Britania, A.C Ewing? Atau apakah pengalaman tadi merupakan pembuktian bahwa
objek yang dinilai merupakan sarana untuk mencapai suatu tujuan atau akibat
seperti yang dikatakan oleh John Dewey? Sedangkan masalah lain yang dapat
timbul adalah bagaimana cara orang mengetahui nilai? Atau secara logika
pertanyaan ini menjadi bagaimana: bagaimanakah caranya membuat
tanggapan-tanggapan penilaian? Sejumlah makna nilai secara singkat dapat
dikatakan, perkataan ”nilai” kiranya mempunyai macam makna seperti yang tampak
dalam contoh-contoh berikut ini;
1. Mengandung nilai (artinya, berguna)
2. Merupakan nilai (artinya, baik atau benar atau
indah)
3. Mempunyai nilai (artinya, merupakan objek
keinginan,mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap
”menyetujui”, atau mempunyai sifat nilai tertentu)
4. Memberi nilai (artinya menanggapi sesuatu
sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu.
C. Syarat-Syarat Ilmu
Suatu pengetahuan dapat dikatakan sebagai ilmu
apabila dapat memenuhi persyaratan-persyaratan, sebagai berikut :
1. Ilmu mensyaratkan adanya obyek yang diteliti,
baik yang berhubungan dengan alam (kosmologi) maupun tentang manusia
(Biopsikososial). Ilmu mensyaratkan adanya obyek yang diteliti. Lorens Bagus
(1996) menjelaskan bahwa dalam teori skolastik terdapat pembedaan antara obyek
material dan obyek formal. Obyek material merupakan obyek konkret yang disimak
ilmu. Sedang obyek formal merupakan aspek khusus atau sudut pandang terhadap
ilmu. Yang mencirikan setiap ilmu adalah obyek formalnya. Sementara obyek
material yang sama dapat dikaji oleh banyak ilmu lain.
2. Ilmu mensyaratkan adanya metode tertentu, yang
di dalamnya berisi pendekatan dan teknik tertentu. Metode ini dikenal dengan istilah
metode ilmiah. Dalam hal ini, Moh. Nazir, (1983:43) mengungkapkan bahwa metode
ilmiah boleh dikatakan merupakan suatu pengejaran terhadap kebenaran yang
diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis. Karena ideal dari ilmu adalah
untuk memperoleh interrelasi yang sistematis dari fakta-fakta, maka metode
ilimiah berkehendak untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan
menggunakan pendekatan kesangsian sistematis. Almack (1939) mengatakan
bahwa metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap
penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran. Sedangkan Ostle (1975)
berpendapat bahwa metode ilmiah adalah pengejaran terhadap sesuatu untuk
memperoleh sesutu interrelasi. Selanjutnya pada bagian lain Moh. Nazir
mengemukakan beberapa kriteria metode ilmiah dalam perspektif penelitian
kuantitatif, diantaranya:
a. Berdasarkan fakta,
b. Bebas dari prasangka,
c. Menggunakan prinsip-prinsip analisa,
d. Menggunakan hipotesa,
e. Menggunakan ukuran obyektif dan menggunakan
teknik kuantifikasi.
Belakangan
ini berkembang pula metode ilmiah dengan pendekatan kualitatif. Nasution
(1996:9-12) mengemukakan ciri-ciri metode ilimiah dalam penelitian kualitatif,
diantaranya :
a. Sumber data ialah situasi yang wajar atau natural
setting,
b. Peneliti sebagai instrumen penelitian,
c. Sangat deskriptif,
d. Mementingkan proses maupun produk,
e. Mencari makna,
f. Mengutamakan data langsung,
g. Triangulasi,
h. Menonjolkan rincian kontekstual,
i. Subyek yang diteliti dipandang berkedudukan
sama dengan peneliti,
j. Mengutama- kan perspektif emic,
k. Verifikasi,
l. Sampling yang purposif,
m. Menggunakan audit trail,
n. Partisipatipatif tanpa mengganggu,
o. Mengadakan analisis sejak awal penelitian,
p. Disain penelitian tampil dalam proses
penelitian.
3. Pokok permasalahan (subject matter atau
focus of interest). ilmu mensyaratkan adanya pokok permasalahan yang
akan dikaji. Mengenai focus of interest ini Husein Al-Kaff dalam Kuliah
Filsafat Islam di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad menjelaskan bahwa ketika
masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka masalah masalah
yang sederhana tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah
dari sesuatu yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana
menjadi sesuatu yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah
itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang
diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menyebabkan
perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada
gilirannya muncul perbedaan ideologi (Husein Al-Kaff, Filsafat Ilmu,)
D. Karakteristik Ilmu
Di samping memiliki syarat-syarat tertentu,
ilmu memiliki pula karakteristik atau sifat yang menjadi ciri hakiki ilmu.
Randall dan Buchler mengemukakan beberapa ciri umum
ilmu, yaitu:
1. Hasil ilmu bersifat akumulatif dan merupakan
milik bersama,
2. Hasil ilmu kebenarannya tidak mutlak dan bisa
terjadi kekeliruan, dan
3. Obyektif tidak bergantung pada pemahaman
secara pribadi. Pendapat senada diajukan oleh Ralph Ross dan Enerst Van den
Haag bahwa ilmu memiliki sifat-sifat rasional, empiris, umum, dan akumulatif
(Uyoh Sadulloh,1994:44).
Sementara, dari apa yang dikemukakan oleh
Lorens Bagus (1996:307-308) tentang pengertian ilmu dapat didentifikasi bahwa
salah satu sifat ilmu adalah koheren yakni tidak kontradiksi dengan kenyataan.
Sedangkan berkenaan dengan metode pengembangan ilmu, ilmu memiliki ciri-ciri
dan sifat-sifat yang reliable, valid, dan akurat. Artinya, usaha untuk
memperoleh dan mengembangkan ilmu dilakukan melalui pengukuran dengan menggunakan
alat ukur yang memiliki keterandalan dan keabsahan yang tinggi, serta penarikan
kesimpulan yang memiliki akurasi dengan tingkat siginifikansi yang tinggi pula.
Bahkan dapat memberikan daya prediksi atas kemungkinan-kemungkinan suatu hal.
Sementara itu, Ismaun (2001) mengetengahkan
sifat atau ciri-ciri ilmu sebagai berikut :
1. Obyektif; ilmu berdasarkan hal-hal yang obyektif, dapat diamati dan tidak
berdasarkan pada emosional subyektif,
2. Koheren; pernyataan/susunan ilmu tidak kontradiksi
dengan kenyataan;
3. Reliable; produk dan cara-cara memperoleh ilmu
dilakukan melalui alat ukur dengan tingkat keterandalan (reabilitas) tinggi,
4. Valid; produk dan cara-cara memperoleh ilmu dilakukan melalui alat ukur
dengan tingkat keabsahan (validitas) yang tinggi, baik secara internal maupun
eksternal,
5. Memiliki generalisasi; suatu kesimpulan dalam ilmu dapat berlaku
umum,
6. Akurat; penarikan kesimpulan memiliki keakuratan (akurasi) yang tinggi, dan
7. Dapat melakukan prediksi; ilmu dapat memberikan daya prediksi atas kemungkinan-kemungkinan
suatu hal.
Hakikat ilmu itu disebut baik manakala ia
tenteram dalam kebajikan ilmu. Sedangkan hakikat ilmu itu disebut buruk
manakala, ia keluar dari ilmu itu. Ilmu itu bagi hati ibarat dirham-dirham
dan dinar-dinar di tangan. Bisa bermanfaat bagimu bisa pula
membahayakanmu.
Ilmu yang hakiki adalah ilmu yang
tidak dicampuri oleh kontradiksi dan bukti-bukti yang menamfikan contoh dan
keraguan, sebagaimana Ilmu Rasulullah SAW, Ilmu orang yang benar, serta ilmu
Wali. Siapa pun yang memasuki medan tersebut ibaratnya seperti orang yang
tenggelam dalam samudera, kemudian ia ditelan oleh ombak, lalu kontradiksi
manakah yang muncul (dalam situasi seperti itu) yang bias didapatkan,
dicampurkan, didengar atau dilihat. Sedangkan siapa yang tidak memasuki medan
tersebut ia sangat membutuhkan ayat “Tiada satupun yang menyamai-Nya”.
A.
Kegunaan Ilmu
Ilmu dengan segala tujuan dan artinya, sampai
batas-batas tertentu, telah banyak membantu manusia dalam mencapai tujuan hidup
dan kehidupannya, yaitu kehidupan lebih baik. Ilmu menghasilkan teknologi, yang
memungkinkan manusia dapat bergerak atau bertindak. Dengan ilmu pula, manusia
dapat mengubah wajah dunia, mengubah cara manusia bekerja, cara manusia
berfikir. Dengan kata lain ilmu telah mempermudah kehidupan manusia, sehingga
menjadi lebih mudah.
Meskipun ilmu dan teknoilogi banyak
mendatangkan manfaat bagi manusia namun ada beberapa kekurangan mungkin
dianggap berbahaya, karena :
1. Ilmu itu objektif, menyampingkan penilaian
yang sifatnya subjektif. ia menyampingkan tujuan hidup, sehingga dengan
demikian ilmu dan teknologi tidak bisa dijadikan pembimbing bagi manusia dalam
menjalani hidup ini.
2. Manusia hidup dalam waktu yang panjang, jika
ia terbenam dalam dunia fisik, maka akan hampa dari makna.
Sekurang-kurangnya ada
tiga manfaat kegunaan ilmu, yaitu :
1.
Ilmu sebagai alat Eksplanasi
Berbagai ilmu yang berkembang dewasa ini, secara umum
berfungsi sebagai alat untuk membuat eksplanasi kenyataan yang ada. Filsafat
ilmu dapat dianggap sebagai suatu studi tentang masalah-masalah eksplanasi.
Menurut T. Jacob yang dikutip Ahmad
Tafsir dalam Emi Fatmawati, “sain merupakan suatu sistem eksplanasi yang paling dapat diandalkan dibanding dengan
sistem lain dalam memahami masa lampau, sekarang, serta mengubah masa depan”.
Sebagai contoh, ketika itu ada sebuah sepeda motor tua,
dengan knalpot yang berasap tebal berwarna putih dengan jalan terseok-seok dan
tidak bisa berlari kencang. Dari gejala yang timbul ini seorang mekanik yang
memiliki ilmu tentang perbengkelan, bisa membuat eksplanasi atau penjelasan
kepada pemilik motor mengapa begitu. Itulah manfaat ilmu sebagai eksplanasi.
2.
Ilmu sebagai alat Peramal
Tatkala membuat ekplanasi, biasanya ilmuan telah
mengetahui juga faktor penyebab gejala tersebut. Dengan menganalisis faktor dan
gejala yang muncul, ilmuwan dapat melakukan ramalan. Dalam term ilmuwan ramalan
disebut prediksi untuk membedakan ramalan embah dukun. Sebagai contoh, motor
tadi, seorang mekanik bisa memprediksi jika pemilik motor tidak mau merawat
motor dan lalai mengganti oli, maka ring sehernya akan cepat menipis dan oli
mesin akan terbakar dan menyebabkan asap menjadi tebal dan berwarna putih.
3.
Ilmu sebagai alat
Pengontrol
Eksplanasi sebagai bahan membuat prediksi dan kontrol.
Ilmuan selain mampu membuat ramalan berdasarkan eksplanasi gejala, juga dapat
membuat kontrol. Contoh : Agar motor kita awet, motor kita harus diservis dan
ganti oli tiap 2000 km, sehingga tingkat keausan mesin dapat ditekan dan
diperlambat, jadi motor kita akan tetap awet.
Pada
intinya ilmu memiliki kegunaan atau fungsi yang kalau kita konsumsikan dengan
baik, memberikan kenikmatan batiniah atau kepuasan jiwa. Jiwa kita tergetar,
terharu, tersenyum oleh komunikasi artistik, menyebabkan dunia yang tak
terjangkau kasat mata. Jiwa kita bertambah kaya, persepsi kita bertambah
dewasa, yang selanjutnya akan mengubah sikap dan kelakuan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar