ILMU DAN BAHASA
1.
ILMU
DAN BAHASA
Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai
ciri-ciri tertentu, yang membedakan ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan lainnya.
Ilmu merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang dapat diandalkan dan yang
berguna untuk menjelaskan, meramalkan, mengontrol gejala-gejala (sesuatu). Menurut Nazir (1988),
Ilmu adalah pengetahuan yang bersifat umum dan sistematis, pengetahuan dari
mana dapat disimpulkan dalil – dalil tertentu menurut kaidah – kaidah umum.
Menurut Shapere (1974), konsepsi ilmu pada
dasarnya mencakup tiga hal yaitu adanya rasionalitas, dapat digeneralisasi dan
dapat disistematisasi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ilmu berbeda dengan pengetahuan. Pengetahuan
merupakan kumpulan fakta yang merupakan bahan dari suatu ilmu, sedangkan ilmu
adalah suatu kegiatan penelitian terhadap suatu gejala ataupun kondisi pada
suatu bidang dengan menggunakan berbagai prosedur, cara, alat dan metode ilmiah
lainnya guna menghasilkan suatu kebenaran ilmiah yang bersifat empiris,
sistematis, objektif, analisis dan verifikatif.
Apabila kita menelusuri jejak kehidupan nenek moyang
manusia di muka bumi sejak lima ratus ribu tahun yang silam, kita tidak pernah
menemukan bukti-bukti langsung mengenai bahasa nenek moyang kita tersebut.
Cerita dari Mesir, bahwa sekitar abad ke-17 SM Raja Mesir
Psammetichus mengadakan eksperimen terhadap bayi yang dibesarkan di hutan
belantara dengan pola pengasuhan yang tanpa bersentuhan dengan pemakaian bahasa
apapun. Setelah berusia dua tahun, bayi tersebut dilaporkan oleh pengasuh
suruhan istana dapat mengucapkan kata pertamanya “becos” yang berarti “roti”,
dalam bahasa Phrygia (bahasa Mesir kuno). Dan cerita ini, banyak orang Mesir
yang mempercayai bahwa bahasa Mesirlah yang merupakan bahasa yang pertama
dikuasai manusia, sekaligus diklaim sebagai bahasa yang pertama kali ada di
muka bumi. Berikut adalah karakteristik ilmu, yaitu:
1. Bersifat
rasional/masuk akal
2. Didukung
berdasarkan fakta empiris
3. Disusun
secara sistematis
4. Bersifat
obyektif, bukan subyektif
5. Dapat
dikonfrontasikan dengan alternatif lain
6. Dapat
dikritik
Bahasa dapat diartikan oleh para ahli,
yaitu:
v Ferdinand De Saussure, bahasa adalah ciri pembeda yang paling menonjol karena
dengan bahasa setiap kelompok sosial merasa dirinya sebagai kesatuan yang
berbeda dari kelompok yang lain.
v Plato, bahasa
pada dasarnya adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan onomata
(nama benda atau sesuatu) dan rhemata (ucapan) yang merupakan cermin dari ide
seseorang dalam arus udara lewat mulut.
v Carrol,
bahasa adalah sebuah sistem berstruktural mengenai bunyi dan urutan bunyi
bahasa yang sifatnya manasuka, yang digunakan, atau yang dapat digunakan dalam
komunikasi antar individu oleh sekelompok manusia dan yang secara agak tuntas
memberi nama kepada benda-benda, peristiwa-peristiwa, dan proses-proses dalam
lingkungan hidup manusia.
Sehingga dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahasa adalah alat
untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam
arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan. Karakteristik Bahasa
1.Bahasa bersifat abritrer
2.Bahasa bersifat produktif
3.Bahasa Bersifat Dinamis
4.Bahasa Bersifat Beragam
5.Bahasa bersifat manusiawi
Sebagaimana dikemukakan oleh Kempen (tokoh
psikolingustik) yang menjelaskan studi mengenai manusia sebagai pemakai bahasa yang
berhubungan dengan ilmu, yaitu mengenai sistem-sistem bahasa yang ada
pada manusia yang dapat menjelaskan cara manusia dapat menangkap ide-ide orang
lain dan bagaimana ia dapat mengekspresikan ide-idenya sendiri melalui bahasa,
baik secara tertulis ataupun secara lisan.
Ilmu dan bahasa berhubungan antara kebutuhan-kebutuhan kita untuk
berekspresi dan berkomunikasi dan benda-benda yang ditawarkan kepada kita
melalui bahasa yang kita pelajari. Manusia hanya akan dapat berkata dan
memahami satu dengan lainnya dalam kata-kata yang terbahasakan. Orientasi
inilah yang selanjutnya mempengaruhi bagaimana manusia berpikir dan berkata.
Contoh dalam perilaku manusia yang tampak dalam hubungan
ilmu dan bahasa adalah perilaku manusia ketika berbicara dan menulis atau
ketika dia memproduksi bahasa, sedangkan prilaku yang tidak tampak adalah
perilaku manusia ketika memahami yang disimak atau dibaca sehingga
menjadi sesuatu yang dimilikinya atau memproses sesuatu yang akan diucapkan
atau ditulisnya.
2.
PERAN
BAHASA DALAM ILMU
Peran bahasa dalam ilmu erat hubungannya dengan aspek fungsional bahasa
sebagai media berpikir dan media komunikasi.
1. Hubungan Bahasa
dan Pikiran
Berpikir merupakan aktivitas mental yang tersembunyi, yang bisa disadari
hanya oleh orang yang melakukan aktivitas itu. Dengan kemampuan berpikirnya,
manusia bisa membahas obyek-obyek dan peristiwa-peristiwa yang tidak berada
atau sedang berlangsung disekitarnya. Kemampuan berpikir juga kadang-kadang
dapat digunakan untuk memecahkan masalah tanpa mencoba berbagai alternatif
solusi secara langsung (nyata).
2. Bahasa Sebagai Media Komunikasi
Komunikasi merupakan salah satu jantung pengembangan ilmu. Setiap ilmu
dapat berkembang jika temuan-temuan dalam ilmu itu disebarluaskan
(dipublikasikan) melalui tindakan berkomunikasi. Temuan-temuan itu kemudian
didiskusikan, diteliti ulang, dikembangkan, disintetiskan, diterapkan atau
diperbaharui oleh ilmuwan lainnya. Hasil-hasil diskusi, sintetis, penelitian
ulang, penerapan, dan pengembangan itu kemudian dipublikasikan lagi untuk
ditindaklanjuti oleh ilmuwan lainnya. Selama dalam proses penelitian,
perumusan, dan publikasi temuan-temuan tersebut, bahasa memainkan peran
sentral, karena segala aktivitas tersebut menggunakan bahasa sebagai media.
3.
PENGETAHUAN
Pengetahuan merupakan sintesis tiada henti antara “sudah tahu” dan “belum
tahu”.
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari “Tahu” dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indra manusia, yaitu: indra penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui pendidikan,
pengalaman orang lain, media massa maupun lingkungan (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam menumbuhkan rasa
percaya diri maupun sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan
bahwa pengetahuan merupakan fakta yang mendukung tindakan seseorang (Notoatmodjo,
2003).
Sehingga dapat
diartikan bahwa Ilmu Pengetahuan
adalah Pengetahuan yang diatur secara sistematis dan langkah-langkah
pencapaiannya dipertanggung-jawabkan secara teoritis.
Ilmu pengetahuan memiliki fungsi, yaitu:
a. Untuk
menerangkan gejala
b. Untuk
memahami hakekat gejala
c. Untuk
meramalkan kejadian yang akan dating
d. Untuk
mengendalikan gejala
4.
QOU
VADIS
Bahasa latin yang sering digunakan oleh media.
Arti dasarnya adalah "Mau pergi kemana?" atau "Mau dibawa kemana
arahnya?", namun bisa juga diartikan sebagai kata Arah, Tujuan, atau Visi. Kita sering latah mengungkapan bahasa latin yang berbunyi quo vadis? yang berarti
kemana engkau akan pergi? Ternyata bahasa latin ini merupakan terjemah dari
bahasa Ibrani dalam Perjanjian Baru, yang berbunyi “Tetapi sekarang Aku pergi kepada
Dia yang telah mengutus Aku, dan tiada seorang pun di antara kamu yang bertanya
kepada-Ku: Ke mana Engkau pergi (Quo Vadis)?.” (Yohanes, 16/5).
Jika kita perhatikan secara seksama redaksi bible di atas,
ternyata pertanyaan “Quo Vadis?” adalah kata-kata yang tidak dimaksudkan
sebagai unsur kiasan, tapi memang benar-benar berarti menyanyakan tempat
kepergian. Sebab latar belakang pertanyaan ini dilontarkan oleh Santo Petrus
kepada Yesus ketika hendak melarikan diri dari penyaliban bangsa Roma.
Sedangkan penggunaan umum yang sering terjadi adalah menggunakan pertanyaan quo vadis? (mau ke mana?) untuk maksud dan tujuan
kiasan. Sebagai contoh, saat ini Quo
Vadis sering digunakan oleh
berbagai kalangan untuk maksud re-orientasi gerakan misalnya, “Quo-Vadis
Persatuan Islam Setelah Muktamar ke-V,” atau “Quo-Vadis NU Setelah Kembali ke
Khittah 1926.”
Nah, dalam
al-Quran ada ungkapan yang seringkali disamakan artinya dengan Quo-Vadis, yaitu fa aina tadzhabûn(QS. Al-Takwîr,
26). Tapi ternyata, setelah saya membuka ragam kitab tafsir, maknanya berbeda
dengan quo-vadis yang digunakan untuk makna menanyakan tempat kepergian.
Menurut Imam al-Thabarî, makna dari fa aina tadzhabûn tidak sekedar
berarti menanyakan “ke mana engkau pergi?,” tapi maksudnya, “Ke mana engkau
akan pergi dan menjauh dari al-Quran?” Kenapa Imâm al-Thabarî mengaitkannya
dengan al-Quran? Sebab ayat sebelumnya menegaskan, “Al-Quran ini
bukanlah perkataan syaitan yang terkutuk.”(QS. Al-Takwîr, 25). Kemudian ditegaskan
oleh ayat setelahnya, “Tidaklah al-Quran ini kecuali
pelajaran/peringatan untuk seluruh semesta alam.” (QS. Al-Takwîr,
27). (al-Thabarî, 24/258). Sedangkan Imâm al-Tsa’labî dalam al-Jawâhir
al-Hisân fî Tafsîr al-Qurân mengatakan, “Madzhab (tempat bertolak) yang mana
lagi yang akan digunakan seseorang untuk menjelaskan hakikat (kalau bukan
al-Quran)?” (al-Ts’alabî, 4/214). Dalam tafsir al-Baghawî juga ditegaskan hal
yang sama, yaitu menafsirkan ayat ini dengan, “Kemana kalian akan berpaling
dari al-Quran ini, sedangkan dalam al-Quran ada obat dan penjelasan?.”
(al-Baghawî, 8/351). Sedangkan Imam Yusûf bin Hayyân dalam al-Bahru
al-Muhîth berpendapat, “Ayat ini adalah
ungkapan yang menganggap sesat kepada orang yang menganggap Rasulullah dengan
sebutan gila atau tukang sihir atau ungkapan lain yang seluruhnya sangat jauh
dari sifat-sifat Rasulullah.” (Ibnu Hayyân, 10/443). Mungkin Ibnu Hayyan
bermaksud bahwadzahaba di sini bukan berarti pergi, tapi hilang, sebagai
balasan Allah atas hinaan orang kafir Quraisy kepada Rasulullah. Seperti
ungkapan Abu Bakar al-Shiddiq yang mengatakan kepada utusan Banî Hanifah yang
membacakan ayat Quran versi Musailamah al-Kadzâb, “Waihakum, aina
tadzahabu ‘uqulukum,” yang berarti, “Celakalah, kemana perginya akal
kalian?.” (al-Asâs fi al-Tafsîr, 11/300). Jadi menurutnya, orang yang menuduh
Rasulullah sebagai orang gila, tukang sihir, atau haus seks seperti yang marak
diungkapkan belum lama ini, sebenarnya adalah orang gila yang telah kehilangan
akal. Bisa juga berarti ungkapan keapda seseorang yang tersesat di jalanan, “ke
mana engkau hendak pergi?” yang digunakan untuk mencegahnya dari jalan yang
telah jauh dari asal tujuannya.
Sedangkan Ibnu al-Jauzi dalam Kitab Tafsirnya Zâd al-Masîr melengkapi kedua
pendapat sebelumnya dengan menafsirkan, “Maka hendak kemana engkau pergi?
Adakah jalan yang lebih terang dari jalan al-Quran yang telah Kujelaskan kepada
kalian?” (al-Jauzî, 6/130). Dengan cara lain Imâm al-Biqâ’î dalam Nadhm al-Durar fî
Tanâsub al-Âyât wa al-Suwar mengatakan, “Kemana perginya
hati kalian dari kebenaran yang jelas-jelas benar ini? Wahai ahli Mekkah yang
mengaku memiliki kecerdasan puncak dalam bahasa? Kalian sungguh mengetahui
keagungan dan keterjagaan al-Quran melalui dua rasul dari malaikat dan manusia
(Jibril dan Muhammad), dari segi manakah kau bisa mengatakan bahwa al-Quran
tercampur oleh kesalahan?” (al-Biqâ’î, 9/354). Ibnu ‘Âsyûr dalam al-Tahrîr wa
al-Tanwîr menjelaskan bahwa
kata aina (kemana) adalah
isim istifhâm (pertanyaan) yang
digunakan untuk menanyakan tempat. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang tidak
menuntut jawaban tentang tempat kepergian atau tempat kesesatan. Artinya sama
dengan pertanyaan, “engkau akan pergi kemana?” terhadap orang yang sedang
tersesat di jalan dengan maksud untuk menyatakan salahnya jalan yang ditempuh.
Seolah-olah yang bertanya itu berkata, “Jauhi jalan itu, sebab itu engkau sudah
tersesat!.” (Ibnu ‘Âsyûr, 16/138). Bahkan Imâm al-Tirmidzî dalam Kitab al-Syamâ’il
al-Muhammadiyyah mengatakan, “Maksud ayat ini adalah agar manusia
selalu memperhatikan jalan perginya. Jangan sampai pergi dari al-Quran, sebab
jalan selain al-Quran adalah jalan yang rusak, sesat, dan membinasakan.”
(al-Tirmidzî, 9/89). Sayyid Quthb dalam fî Dhilâl
al-Quran menjelaskan,
“Pertanyaan ini termasuk istifhâm inkâri. Allah seolah-olah bertanya dengan apa
kalian hendak menghukumi sesuatu, dengan apa kalian hendak berkata? Kemana
kalian akan pergi dari kebenaran sedangkan al-Quran selalu menghadapi kalian ke
manapun kalian pergi?” (Quthb, 7/474). Terakhir, dan ini pendapat yang kurang
popular di kalangan para mufassir yaitu pendapat yang dikutip oleh Imâm
Al-Mâwardî dalam kitab Tafsirnya, al-Nukt wa al-‘Uyûn yaitu, “Hendak
pergi ke mana kalian dari ‘azab dan siksa-Nya?” (al-Mâwardî, 4/391). Tapi
kelihatannya ta’wîl ini terlalu lemah untuk dipakai sebab kekurangan alat
penjelas (qarînah).
Dari ragam pendapat di atas, kita dapat melihat bahwa pertanyaan
Quo-Vadis? tidak sama dengan pertanyaan fa aina tadzhabûn? Sebab Quo-Vadis
adalah pertanyaan hakiki yang menanyakan tempat pergi. Sedangkan fa aina tadzhabûn adalah memiliki
dua makna yang popular di kalangan mufassirîn. Pertama, ada yang
menganggapnya sebagai istifhâm (pertanyaan) inkâri (pertanyaan yang
hakikatnya adalah pernyataan) tentang kesesatan orang yang menggunakan sesuatu
di luar Quran untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia ataupun akhirat.
Singkatnya, Allah memerintahkan manusia untuk tetap istiqamah berada di jalan
al-Quran berikut penjelasan yang sangat jelas dari sunnah Rasulullah Saw. Kedua, makna pertanyaan
ini adalah makna seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Hayyan bahwa orang yang
menuduh Rasulullah sebagai orang gila, tukang sihir, haus seks—seperti yang
marak diungkapkan belum lama ini—atau menuduh yang lain-lain terhadap al-Quran,
sebenarnya adalah orang gila yang telah kehilangan akal (dzahaba ‘aqluh). Allâhu’alamu
5.
POLITIK BAHASA NASIONAL
Politik
bahasa nasional adalah kebijaksanaan nasional yang berisi perencanaan,
pengarahan dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar pengolahan
keseluruhan masalah kebahasaan. Masalah kebahasaan di Indonesia merupakan
jaringan masalah yang dijalin oleh; (1) masalah bahasa nasional, (2) masalah
bahasa daerah, dan (3) masalah pemakaian dan pemanfaatan bahasa-bahasa asing
tertentu di Indonesia.
Pertama, bahasa Indonesia. Rumusan Seminar
Politik Bahasa Nasional yang diselenggarakan di Jakarta, 25--28 Februari 1975
menyebutkan salah satu kedudukan bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa
nasional. Kedudukan ini dimiliki bahasa Indonesia sejak dicetuskannya Sumpah
Pemuda pada 28 Oktober 1928 dan dimungkinkan kenyataan bahwa bahasa Melayu,
yang mendasari bahasa Indonesia itu, telah dipakai sebagai lingua franca selama
berabad-abad sebelum seluruh kawasan Tanah Air. Selain berkedudukan sebagai
bahasa nasional, bahasa Indonesia juga berkedudukan sebagai bahasa negara yang
tertera di dalam Bab XV Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam
kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1)
Lambang kebangsaan nasional, (2) Lambang identitas nasional, (3) Alat pemersatu
berbagai-bagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan
bahasanya, dan (4) Alat perhubungan antarbudaya antardaerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar