Indahnya Kebersamaan

Indahnya Kebersamaan

Selasa, 12 Mei 2015

Filsafat 8

ILMU DAN BAHASA

1.      ILMU DAN BAHASA
Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu, yang membedakan ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan lainnya. Ilmu merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang dapat diandalkan dan yang berguna untuk menjelaskan, meramalkan, mengontrol gejala-gejala (sesuatu). Menurut Nazir (1988), Ilmu adalah pengetahuan yang bersifat umum dan sistematis, pengetahuan dari mana dapat disimpulkan dalil – dalil tertentu menurut kaidah – kaidah umum. Menurut Shapere (1974), konsepsi ilmu pada dasarnya mencakup tiga hal yaitu adanya rasionalitas, dapat digeneralisasi dan dapat disistematisasi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ilmu berbeda dengan pengetahuan. Pengetahuan merupakan kumpulan fakta yang merupakan bahan dari suatu ilmu, sedangkan ilmu adalah suatu kegiatan penelitian terhadap suatu gejala ataupun kondisi pada suatu bidang dengan menggunakan berbagai prosedur, cara, alat dan metode ilmiah lainnya guna menghasilkan suatu kebenaran ilmiah yang bersifat empiris, sistematis, objektif, analisis dan verifikatif. Apabila kita menelusuri jejak kehidupan nenek moyang manusia di muka bumi sejak lima ratus ribu tahun yang silam, kita tidak pernah menemukan bukti-bukti langsung mengenai bahasa nenek moyang kita tersebut. Cerita dari Mesir, bahwa sekitar abad ke-17 SM Raja Mesir Psammetichus mengadakan eksperimen terhadap bayi yang dibesarkan di hutan belantara dengan pola pengasuhan yang tanpa bersentuhan dengan pemakaian bahasa apapun. Setelah berusia dua tahun, bayi tersebut dilaporkan oleh pengasuh suruhan istana dapat mengucapkan kata pertamanya “becos” yang berarti “roti”, dalam bahasa Phrygia (bahasa Mesir kuno). Dan cerita ini, banyak orang Mesir yang mempercayai bahwa bahasa Mesirlah yang merupakan bahasa yang pertama dikuasai manusia, sekaligus diklaim sebagai bahasa yang pertama kali ada di muka bumi. Berikut adalah karakteristik ilmu, yaitu:
1.      Bersifat rasional/masuk akal
2.      Didukung berdasarkan fakta empiris
3.      Disusun secara sistematis
4.      Bersifat obyektif, bukan subyektif
5.      Dapat dikonfrontasikan dengan alternatif lain
6.      Dapat dikritik

Bahasa dapat diartikan oleh para ahli, yaitu:
v  Ferdinand De Saussure, bahasa adalah ciri pembeda yang paling menonjol karena dengan bahasa setiap kelompok sosial merasa dirinya sebagai kesatuan yang berbeda dari kelompok yang lain.
v  Plato, bahasa pada dasarnya adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan onomata (nama benda atau sesuatu) dan rhemata (ucapan) yang merupakan cermin dari ide seseorang dalam arus udara lewat mulut.
v  Carrol, bahasa adalah sebuah sistem berstruktural mengenai bunyi dan urutan bunyi bahasa yang sifatnya manasuka, yang digunakan, atau yang dapat digunakan dalam komunikasi antar individu oleh sekelompok manusia dan yang secara agak tuntas memberi nama kepada benda-benda, peristiwa-peristiwa, dan proses-proses dalam lingkungan hidup manusia.      
Sehingga dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan. Karakteristik Bahasa
1.Bahasa bersifat abritrer
2.Bahasa bersifat produktif
3.Bahasa Bersifat Dinamis
4.Bahasa Bersifat Beragam
5.Bahasa bersifat manusiawi
Sebagaimana  dikemukakan   oleh  Kempen (tokoh psikolingustik) yang menjelaskan studi mengenai manusia sebagai pemakai bahasa yang berhubungan dengan ilmu, yaitu mengenai sistem-sistem bahasa yang  ada pada manusia yang dapat menjelaskan cara manusia dapat menangkap ide-ide orang lain dan bagaimana ia dapat mengekspresikan ide-idenya sendiri melalui bahasa, baik secara tertulis ataupun secara lisan.
Ilmu dan bahasa berhubungan  antara kebutuhan-kebutuhan kita untuk berekspresi dan berkomunikasi dan benda-benda yang ditawarkan kepada kita melalui bahasa yang kita pelajari. Manusia hanya akan dapat berkata dan memahami satu dengan lainnya dalam kata-kata yang terbahasakan. Orientasi inilah yang selanjutnya mempengaruhi bagaimana manusia berpikir dan berkata. Contoh dalam perilaku manusia yang tampak dalam hubungan ilmu dan bahasa adalah perilaku manusia ketika  berbicara dan menulis atau ketika dia memproduksi  bahasa, sedangkan prilaku yang tidak tampak adalah perilaku manusia ketika memahami yang  disimak atau dibaca sehingga menjadi sesuatu yang dimilikinya atau memproses sesuatu yang akan diucapkan atau ditulisnya.

2.      PERAN BAHASA DALAM ILMU
Peran bahasa dalam ilmu erat hubungannya dengan aspek fungsional bahasa sebagai media berpikir dan media komunikasi.
1.  Hubungan Bahasa dan Pikiran
Berpikir merupakan aktivitas mental yang tersembunyi, yang bisa disadari hanya oleh orang yang melakukan aktivitas itu. Dengan kemampuan berpikirnya, manusia bisa membahas obyek-obyek dan peristiwa-peristiwa yang tidak berada atau sedang berlangsung disekitarnya. Kemampuan berpikir juga kadang-kadang dapat digunakan untuk memecahkan masalah tanpa mencoba berbagai alternatif solusi secara langsung (nyata).
2. Bahasa Sebagai Media Komunikasi
Komunikasi merupakan salah satu jantung pengembangan ilmu. Setiap ilmu dapat berkembang jika temuan-temuan dalam ilmu itu disebarluaskan (dipublikasikan) melalui tindakan berkomunikasi. Temuan-temuan itu kemudian didiskusikan, diteliti ulang, dikembangkan, disintetiskan, diterapkan atau diperbaharui oleh ilmuwan lainnya. Hasil-hasil diskusi, sintetis, penelitian ulang, penerapan, dan pengembangan itu kemudian dipublikasikan lagi untuk ditindaklanjuti oleh ilmuwan lainnya. Selama dalam proses penelitian, perumusan, dan publikasi temuan-temuan tersebut, bahasa memainkan peran sentral, karena segala aktivitas tersebut menggunakan bahasa sebagai media.



3.      PENGETAHUAN
Pengetahuan merupakan sintesis tiada henti antara “sudah tahu” dan “belum tahu”. Pengetahuan adalah merupakan hasil dari “Tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yaitu: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui pendidikan, pengalaman orang lain, media massa maupun lingkungan (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam menumbuhkan rasa percaya diri maupun sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan fakta yang mendukung tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003).
Sehingga dapat diartikan bahwa Ilmu Pengetahuan adalah Pengetahuan yang diatur secara sistematis dan langkah-langkah pencapaiannya dipertanggung-jawabkan secara teoritis. Ilmu pengetahuan memiliki fungsi, yaitu:
a.       Untuk menerangkan gejala
b.      Untuk memahami hakekat gejala
c.       Untuk meramalkan kejadian yang akan dating
d.      Untuk mengendalikan gejala

4.      QOU VADIS
Bahasa latin yang sering digunakan oleh media. Arti dasarnya adalah "Mau pergi kemana?" atau "Mau dibawa kemana arahnya?", namun bisa juga diartikan sebagai kata Arah, Tujuan, atau Visi. Kita sering latah mengungkapan bahasa latin yang berbunyi quo vadis? yang berarti kemana engkau akan pergi? Ternyata bahasa latin ini merupakan terjemah dari bahasa Ibrani dalam Perjanjian Baru, yang berbunyi “Tetapi sekarang Aku pergi kepada Dia yang telah mengutus Aku, dan tiada seorang pun di antara kamu yang bertanya kepada-Ku: Ke mana Engkau pergi (Quo Vadis)?.” (Yohanes, 16/5).
Jika kita perhatikan secara seksama redaksi bible di atas, ternyata pertanyaan “Quo Vadis?” adalah kata-kata yang tidak dimaksudkan sebagai unsur kiasan, tapi memang benar-benar berarti menyanyakan tempat kepergian. Sebab latar belakang pertanyaan ini dilontarkan oleh Santo Petrus kepada Yesus ketika hendak melarikan diri dari penyaliban bangsa Roma. Sedangkan penggunaan umum yang sering terjadi adalah menggunakan pertanyaan quo vadis? (mau ke mana?) untuk maksud dan tujuan kiasan. Sebagai contoh, saat ini Quo Vadis sering digunakan oleh berbagai kalangan untuk maksud re-orientasi gerakan misalnya, “Quo-Vadis Persatuan Islam Setelah Muktamar ke-V,” atau “Quo-Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926.”
Nah, dalam al-Quran ada ungkapan yang seringkali disamakan artinya dengan Quo-Vadis, yaitu fa aina tadzhabûn(QS. Al-Takwîr, 26). Tapi ternyata, setelah saya membuka ragam kitab tafsir, maknanya berbeda dengan quo-vadis yang digunakan untuk makna menanyakan tempat kepergian.
Menurut Imam al-Thabarî, makna dari fa aina tadzhabûn tidak sekedar berarti menanyakan “ke mana engkau pergi?,” tapi maksudnya, “Ke mana engkau akan pergi dan menjauh dari al-Quran?” Kenapa Imâm al-Thabarî mengaitkannya dengan al-Quran? Sebab ayat sebelumnya menegaskan, “Al-Quran ini bukanlah perkataan syaitan yang terkutuk.”(QS. Al-Takwîr, 25). Kemudian ditegaskan oleh ayat setelahnya, “Tidaklah al-Quran ini kecuali pelajaran/peringatan untuk seluruh semesta alam.” (QS. Al-Takwîr, 27). (al-Thabarî, 24/258). Sedangkan Imâm al-Tsa’labî dalam al-Jawâhir al-Hisân fî Tafsîr al-Qurân mengatakan, “Madzhab (tempat bertolak) yang mana lagi yang akan digunakan seseorang untuk menjelaskan hakikat (kalau bukan al-Quran)?” (al-Ts’alabî, 4/214). Dalam tafsir al-Baghawî juga ditegaskan hal yang sama, yaitu menafsirkan ayat ini dengan, “Kemana kalian akan berpaling dari al-Quran ini, sedangkan dalam al-Quran ada obat dan penjelasan?.” (al-Baghawî, 8/351).  Sedangkan Imam Yusûf bin Hayyân dalam al-Bahru al-Muhîth berpendapat, “Ayat ini adalah ungkapan yang menganggap sesat kepada orang yang menganggap Rasulullah dengan sebutan gila atau tukang sihir atau ungkapan lain yang seluruhnya sangat jauh dari sifat-sifat Rasulullah.” (Ibnu Hayyân, 10/443). Mungkin Ibnu Hayyan bermaksud bahwadzahaba di sini bukan berarti pergi, tapi hilang, sebagai balasan Allah atas hinaan orang kafir Quraisy kepada Rasulullah. Seperti ungkapan Abu Bakar al-Shiddiq yang mengatakan kepada utusan Banî Hanifah yang membacakan ayat Quran versi Musailamah al-Kadzâb, “Waihakum, aina tadzahabu ‘uqulukum,” yang berarti, “Celakalah, kemana perginya akal kalian?.” (al-Asâs fi al-Tafsîr, 11/300). Jadi menurutnya, orang yang menuduh Rasulullah sebagai orang gila, tukang sihir, atau haus seks seperti yang marak diungkapkan belum lama ini, sebenarnya adalah orang gila yang telah kehilangan akal. Bisa juga berarti ungkapan keapda seseorang yang tersesat di jalanan, “ke mana engkau hendak pergi?” yang digunakan untuk mencegahnya dari jalan yang telah jauh dari asal tujuannya.
Sedangkan Ibnu al-Jauzi dalam Kitab Tafsirnya Zâd al-Masîr melengkapi kedua pendapat sebelumnya dengan menafsirkan, “Maka hendak kemana engkau pergi? Adakah jalan yang lebih terang dari jalan al-Quran yang telah Kujelaskan kepada kalian?” (al-Jauzî, 6/130). Dengan cara lain Imâm al-Biqâ’î dalam Nadhm al-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa al-Suwar mengatakan, “Kemana perginya hati kalian dari kebenaran yang jelas-jelas benar ini? Wahai ahli Mekkah yang mengaku memiliki kecerdasan puncak dalam bahasa? Kalian sungguh mengetahui keagungan dan keterjagaan al-Quran melalui dua rasul dari malaikat dan manusia (Jibril dan Muhammad), dari segi manakah kau bisa mengatakan bahwa al-Quran tercampur oleh kesalahan?” (al-Biqâ’î, 9/354). Ibnu ‘Âsyûr dalam al-Tahrîr wa al-Tanwîr menjelaskan bahwa kata aina (kemana) adalah isim istifhâm (pertanyaan) yang digunakan untuk menanyakan tempat. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang tidak menuntut jawaban tentang tempat kepergian atau tempat kesesatan. Artinya sama dengan pertanyaan, “engkau akan pergi kemana?” terhadap orang yang sedang tersesat di jalan dengan maksud untuk menyatakan salahnya jalan yang ditempuh. Seolah-olah yang bertanya itu berkata, “Jauhi jalan itu, sebab itu engkau sudah tersesat!.” (Ibnu ‘Âsyûr, 16/138). Bahkan Imâm al-Tirmidzî dalam Kitab al-Syamâ’il al-Muhammadiyyah mengatakan, “Maksud ayat ini adalah agar manusia selalu memperhatikan jalan perginya. Jangan sampai pergi dari al-Quran, sebab jalan selain al-Quran adalah jalan yang rusak, sesat, dan membinasakan.” (al-Tirmidzî, 9/89). Sayyid Quthb dalam fî Dhilâl al-Quran menjelaskan, “Pertanyaan ini termasuk istifhâm inkâri. Allah seolah-olah bertanya dengan apa kalian hendak menghukumi sesuatu, dengan apa kalian hendak berkata? Kemana kalian akan pergi dari kebenaran sedangkan al-Quran selalu menghadapi kalian ke manapun kalian pergi?” (Quthb, 7/474). Terakhir, dan ini pendapat yang kurang popular di kalangan para mufassir yaitu pendapat yang dikutip oleh Imâm Al-Mâwardî dalam kitab Tafsirnya, al-Nukt wa al-‘Uyûn yaitu, “Hendak pergi ke mana kalian dari ‘azab dan siksa-Nya?” (al-Mâwardî, 4/391). Tapi kelihatannya ta’wîl ini terlalu lemah untuk dipakai sebab kekurangan alat penjelas (qarînah).
Dari ragam pendapat di atas, kita dapat melihat bahwa pertanyaan Quo-Vadis? tidak sama dengan pertanyaan fa aina tadzhabûn? Sebab Quo-Vadis adalah pertanyaan hakiki yang menanyakan tempat pergi. Sedangkan fa aina tadzhabûn adalah memiliki dua makna yang popular di kalangan mufassirîn. Pertama, ada yang menganggapnya sebagai istifhâm (pertanyaan) inkâri (pertanyaan yang hakikatnya adalah pernyataan) tentang kesesatan orang yang menggunakan sesuatu di luar Quran untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia ataupun akhirat. Singkatnya, Allah memerintahkan manusia untuk tetap istiqamah berada di jalan al-Quran berikut penjelasan yang sangat jelas dari sunnah Rasulullah Saw. Kedua, makna pertanyaan ini adalah makna seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Hayyan bahwa orang yang menuduh Rasulullah sebagai orang gila, tukang sihir, haus seks—seperti yang marak diungkapkan belum lama ini—atau menuduh yang lain-lain terhadap al-Quran, sebenarnya adalah orang gila yang telah kehilangan akal (dzahaba ‘aqluh). Allâhu’alamu

5.      POLITIK BAHASA NASIONAL
Politik bahasa nasional adalah kebijaksanaan nasional yang berisi perencanaan, pengarahan dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar pengolahan keseluruhan masalah kebahasaan. Masalah kebahasaan di Indonesia merupakan jaringan masalah yang dijalin oleh; (1) masalah bahasa nasional, (2) masalah bahasa daerah, dan (3) masalah pemakaian dan pemanfaatan bahasa-bahasa asing tertentu di Indonesia. 

Pertama, bahasa Indonesia. Rumusan Seminar Politik Bahasa Nasional yang diselenggarakan di Jakarta, 25--28 Februari 1975 menyebutkan salah satu kedudukan bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa nasional. Kedudukan ini dimiliki bahasa Indonesia sejak dicetuskannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 dan dimungkinkan kenyataan bahwa bahasa Melayu, yang mendasari bahasa Indonesia itu, telah dipakai sebagai lingua franca selama berabad-abad sebelum seluruh kawasan Tanah Air. Selain berkedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia juga berkedudukan sebagai bahasa negara yang tertera di dalam Bab XV Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) Lambang kebangsaan nasional, (2) Lambang identitas nasional, (3) Alat pemersatu berbagai-bagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya, dan (4) Alat perhubungan antarbudaya antardaerah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar