ONTOLOGI, METAFISIKA, ASUMSI, PELUANG, DAN BATAS-BATAS PENJELAJAHAN ILMU
A. Ontologi
1.
Pengertian ontologi
Pengertian paling umum pada ontologi adalah bagian
dari bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Pengertian
ini menjadi melebar dan dikaji secara tersendiri menurut lingkup cabang-cabang
keilmuan tersendiri. Pengertian ontologi ini menjadi sangat beragam dan berubah
sesuai dengan berjalannya waktu. Gruber (1991) memberikan definisi yang sering
digunakan oleh beberapa orang, definisi tersebut adalah “Ontologi
merupakan sebuah spesifikasi eksplisit dari konseptualisme”. Sebuah
ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk
menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah
knowledge base”.
a. Menurut
bahasa, Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu On/Ontos ada,dan Logos
ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada.
b. Menurut
istilah, Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang
merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun
rohani/abstrak (Bakhtiar , 2004)
c. Menurut
Suriasumantri (1985), Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui,
seberapa jauh kita ingintahu, atau, dengan kata lain suatu pengkajian mengenai
teori tentang ada´. Telaah ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan.
a) apakah obyek ilmu yang akan ditelaah, b) bagaimana wujud yang
hakiki dari obyek tersebut dan bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya
tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang
membuahkan pengetahuan.
d. Menurut
Pandangan The Liang Gie (2000)Ontologi adalah bagian dari filsafat dasar yang
mengungkap makna dari sebuah eksistensi yang pembahasannya meliputi
persoalan-persoalan Apakah artinya ada, hal ada.
e. Menurut
Ensiklopedi Britannica Yang juga diangkat dari Konsepsi Aristoteles
Ontologi Yaitu teori atau studi tentang being/wujud seperti karakteristik dasar
dariseluruh realitas. Ontologi sinonim dengan metafisika yaitu, studi filosofis
untuk menentukan sifat nyata yang asli (real nature) dari suatu benda
untuk menentukanarti, struktur dan prinsip benda tersebut. (Filosofi ini
didefinisikan oleh Aristoteles abad ke-4 SM).
Dengan demikian dapat disimpulkan Ontologi merupakan
adalah suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu
objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain
pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang
sesuatu yang ada dan bagian dari bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat
dari sesuatu. Pengertian ini menjadi melebar dan dikaji secara tersendiri
menurut lingkup cabang-cabang keilmuan tersendiri.
2.
Aliran-Aliran
Dalam Ontologi
Secara sederhana ontologi bisa
dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara
kritis. Di dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok
pemikiran sebagai berikut :
1) Monoisme
Paham ini
menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu
saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal, baik
yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat
masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Istilah monisme oleh Thomas Davidson
disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terebagi ke dalam dua aliran:
a. Materialisme
Aliran ini
menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini
sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan
kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi, yang lainnya jiwa
atau ruh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri. Jiwa dan ruh
merupakan akibat saja dari proses gerakan kebenaran dengan dengan salah satu
cara tertentu. Alasan mengapa aliran ini berkembang sehingga memperkuat dugaan
bahwa yang merupakan hakikat adalah:
·
Pikiran
yang masih sederhana, apa yang kelihatan yang dapat diraba, biasanya dijadikan
kebenaran terakhir.
·
Pikiran
sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di luar ruang yang abstrak.
·
Penemuan-penemuan
menunjukan betapa bergantungnya jiwa pada badan.
Oleh sebab
itu, peristiwa jiwa selalu dilihat sebagai peristiwa jasmani. Jasmani lebih
menonjol dalam peristiwa ini. Dalam sejarahnya manusia memang bergantung pada
benda seperti pada padi. Dewi Sri dan Tuhan muncul dari situ. Kesemuanya itu
memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakekat adalah benda.
b. Idealisme
Aliran
idealisme dinamakan juga spiritualisme. Idealisme bderarti serba cita sedang
spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu
sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan
yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya,
yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu
hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan ruhani. Alasan aliran ini yang
menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit atau sebangsanya adalah:
·
Nilai
ruh lebih tinggi daripada badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupan
manusia. Ruh itu dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya. Sehingga materi hanyalah
badannya bayangan atau penjelmaan.
·
Manusia
lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya.
·
Materi
ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada energi
itu saja.
·
Dalam
perkembangannya, aliran ini ditemui pada ajaran plato (428-348 SM) dengan teori
idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di alam mesti ada idenya, yaitu konsep
universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah
berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi idealah yang menjadi hakikat
sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.
2) Dualisme
Dualisme adalah aliran yang mencoba memadukan antara dua
paham yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut
aliran dualisme materi maupun ruh sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul
bukan karena adanya ruh, begitu pun ruh muncul bukan karena materi. Tetapi
dalam perkembangan selanjutnya aliran ini masih memiliki masalah dalam
menghubungkan dan menyelaraskan kedua aliran tersebut di atas. Sebuah analogi
dapat kita ambil misalnya tentang jika jiwa sedang sehat, maka badan pun akan
sehat kelihatannya. Sebaliknya jika jiwa seseorang sedang penuh dengan duka dan
kesedihan biasanya badanpun ikut sedih, terlihat dari murungnya wajah orang
tersebut.
Aliran dualisme berpendapat bahwa benda terdiri dari dua
macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani,
benda dan ruh, jasad dan spirit. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu
masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya
menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya
kerja sama kedua hakikat ini dalam diri manusia. Tokoh paham ini adalah
Descrates (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia
menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia
ruang (kebendaan).
3) Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan
kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap
macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictonary of Philosophy and
Religion dikataka sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini
tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini
pada masa Yunani Kuno adalah anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa
substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air,
api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M).
Kelahiran New York dan terkenal sebagai seorang psikolog dan filosof Amerika.
Dalam bukunya The Meaning of Truth James mengemukakan, tiada kebenaran yang
mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas
dari akal yang mengenal.
B. Metafisika
Ontologi menurut
A.R. Lacey, ontologi berarti ” a
central part of metaphisics ” (bagian sentral
dari metafisika) sedangkan metafisika diartikan sebagai “that which comes after physics,
the study of nature in general” (hal yang hadir setelah fisika, studi
umum mengenai alam).
Pembahasan
ontologi terkait dengan pembahasan mengenai metafisika. Mengapa ontologi
terkait dengan metafisika? Ontologi membahas hakikat yang “ada”, metafisika
menjawab pertanyaan apakah hakikat kenyataan ini sebenar-benarnya? Pada suatu
pembahasan, metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan
lain, ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari metafisika. Karena itu, metafisika
dan ontologi merupakan dua hal yang saling terkait.
Bidang telaah
filsafati yang disebut metafisika ini merupakan tempat berpijak dari setiap
pemikiran filsafati termasuk pemikiran ilmiah. Diibaratkan pikiran adalah roket
yang meluncur ke bintang-bintang, menembus galaksi dan awan gemawan, maka
Metafisika adalah landasan peluncurannya. Dunia yang sepintas lalu kelihatan
sangat nyata ini, ternyata menimbulkan berbagai spekulasi filsafati tentang
hakikatnya. Beberapa tafsiran tentang metafisika diantaranya, sebagai berikut
1. Supernaturalisme
Di alam terdapat
wujud-wujud gaib (supernatural) dan ujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih
berkuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Animisme merupakan kepercayaan
yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme ini, dimana manusia percaya bahwa
terdapat roh yang sifatnya gaib terdapat dalam benda-benda.
2.
Naturalisme
Paham ini menolak wujud-wujud yang bersifat supernatural. Materialisme
merupakan paham yang berdasarkan pada aliran naturalisme ini. Kaum materialisme
menyatakan bahwa gejala-gejala alam disebabkan oleh kekuatan yang terdapat
dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat kita
ketahui.
Democritos (460-370 S.M.) adalah salah satu tokoh awal paham materialisme. Ia mengembangkan paham materialisme dan mengemukakan bahwa unsur dasar dari alam adalah atom. Hanya berdasar kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu panas, dan sebagainya. Obyek dari penginderaan sering dianggap nyata, padahal tidak demikian, hanya atom dan kehampaan itulah yang bersifat nyata. Jadi, panas, dingin, warna merupakan terminologi yang manusia berikan arti dari setiap gejala yang ditangkap oleh pancaindra. Indentik paham naturalisme adalah paham:
Democritos (460-370 S.M.) adalah salah satu tokoh awal paham materialisme. Ia mengembangkan paham materialisme dan mengemukakan bahwa unsur dasar dari alam adalah atom. Hanya berdasar kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu panas, dan sebagainya. Obyek dari penginderaan sering dianggap nyata, padahal tidak demikian, hanya atom dan kehampaan itulah yang bersifat nyata. Jadi, panas, dingin, warna merupakan terminologi yang manusia berikan arti dari setiap gejala yang ditangkap oleh pancaindra. Indentik paham naturalisme adalah paham:
a. Mekanistik : gejala alam dapat
didekati dari segi proses kimia fisika.
b. Vitalistik : hidup adalah
sesuatu yang unik yang berbeda secara subtantif dengan proses tersebut.
c. Monistik : tidak ada perbedaan
antara pikiran dengan zat , mereka hanya berbeda dalam gejala disebabkan yang
berlainan namun mempunyai subtansi yang sama.
d. Demokritos adalah seorang
filsuf yang termasuk di dalam Mazhab Atomisme. Ia adalah murid dari
leukippos, pendiri mazhab tersebut Demokritos mengembangkan pemikiran tentang
atom sehingga justru pemikiran Demokritos yang lebih dikenal di dalam sejarah
filsafat.
Dengan
demikian, gejala alam dapat didekati dari proses kimia fisika. Pendapat ini
merupakan pendapat kaum mekanistik, bahwa gejala alam (termasuk makhluk hidup)
hanya merupakan gejala kimia fisika semata. Hal ini ditentang oleh kaum vitalistik,
yang merupakan kelompok naturalisme juga. Paham vitalistik sepakat bahwa proses
kimia fisika sebagai gejala alam dapat diterapkan, tetapi hanya meliputi unsur
dan zat yang mati saja, tidak untuk makhluk hidup.
Dalam
kajian metafisika, ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam ini
sebagaimana adanya. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari setiap
permasalahan yang dihadapinya. Makin dalam penjelajahan ilmiah dilakukan, akan
semakin banyak pertanyaan yang muncul, termasuk pertanyaan-pertanyaan mengenai
hal-hal tersebut di atas. Karena beragam tinjauan filsafat diberikan oleh
setiap ilmuwan, maka pada dasarnya setiap ilmuwan bisa memiliki filsafat
individual yang berbeda-beda. Titik pertemuan kaum ilmuwan dari semua itu
adalah sifat pragmatis dari ilmu.
C. Asumsi
Asumsi
adalah praduga anggapan sementara (yang kebenarannya masih dibuktikan) .
timbulnya asumsi karena adanya permasalahan yang belum jelas, seperti belum
jelasnya hakekat alam ini, yakni apakah gejala alam ini tunduk kepada determinisme
, yakni hukum alam yang bersifat universal ataukah hukum semacam itu tidak
terdapat sebab setiap gejala merupakan akibat pilihan bebas ataukah keumuman
memang ada namun berupa peluang , sekedar tangkapan probalistik (kemungkinan
sesuatu hal untuk terjadi).
Tidak
muthlak atau pasti sebagaimana ilmu yang tidak pernah ingin dan tidak pernah
berpretensi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang bersifat muthlak. Jadi
asumsi bukanlah suatu keputusan muthlak.
1.
Kedudukan
ilmu dalam asumsi
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai
dasar untuk mengambil keputusan , karena keputusan harus didasarkan pada
penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.
2. Resiko asumsi
Apa yang diasumsikan akan mengandung
resiko secara menyeluruh. Seseorang yang mengasumsikan usahanya akan berhasil
maka direncanakan akan diadakan pesta keberhasilannya. Secara tiba- tiba
usahanya dinyatakan tidak berhasil. Resikonya menggagalkan pelaksanaan
pestanya.
3. Beberapa asumsi dalam ilmu
Akan terjadi perbedaan pandang suatu
masalah bila ditinjau dari berbagai kacamata ilmu begitu juga asumsi. Ilmu
sekedar merupakan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat
membantu kehidupan manusia secara pragmtis.Pragmatis : sesuatu yang mengandung
manfaat.
Asumsi-asumsi dalam ilmu contohnya
ilmu fisika yakni ilmu yang paling maju bila di bandingkan dengan ilmu-ilmu
lain.
Fisika merupakan ilmu teoritis yang
di bangun atas system penalaran deduktif yang meyak/.inkan serta pembutktian induktif
yang sangat mengesankan. Fisika terdapat celah-celah perbedaan yang terletak di
dalam pondasi dimana dibangun teori ilmiah diatas yakni dalam asumsi tentang
dunia fisiknya.(zat,gerak,ruang dan waktu).
4. Jenis-jenis asumsi
Terdapat beberapa jenis asumsi yang
dikenal, antara lain; Aksioma. Pernyataan yang disetujui umum tanpa memerlukan
pembuktian karena kebenaran sudah membuktikan sendiri (Postulat). Pernyataan
yang dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian, atau suatu fakta yang
hendaknya diterima saja sebagaimana adanya Premise. Pangkal pendapat dalam
suatu entimen . Pertanyaan penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana
penggunaan asumsi secara tepat? Untuk menjawab permasalahan ini, perlu tinjauan
dari awal bahwa gejala alam tunduk pada tiga karakteristik :
a. Deterministik
Paham
determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas
Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris
yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat ini merupakan
lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan
oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu.
b.
Pilihan Bebas
Manusia
memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat pada hukum alam
yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak ditemukan pada
bidang ilmu sosial. Sebagai misal, tidak ada tolak ukur yang tepat dalam
melambangkan arti kebahagiaan. Masyarakat materialistik menunjukkan semakin
banyak harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia lain, kebahagiaan suatu
suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu melestarikan budaya animismenya.
Sebagai mana pula masyarakat brahmana di India mengartikan bahagia jika mampu
membendung hasrat keduniawiannya. Tidak ada ukuran yang pasti dalam pilihan
bebas, semua tergantung ruang dan waktu.
c.
Probabilistik
Pada sifat
probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada namun sifatnya berupa
peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik dengan peluang tertentu. Probabilistik
menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki sifat deterministik
dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan modern,
karakteristik probabilitas ini lebih banyak dipergunakan. Dalam ilmu ekonomi
misalnya, kebenaran suatu hubungan variabel diukur dengan metode statistik
dengan derajat kesalahan ukur sebesar 5%. Pernyataan ini berarti suatu variabel
dicoba diukur kondisi deterministiknya hanya sebesar 95%, sisanya adalah
kesalahan yang bisa ditoleransi. Jika kebenaran statistiknya kurang dari 95%
berarti hubungan variabel tesebut tidak mencapai sifat-sifat deterministik
menurut kriteria ilmu ekonomi.
Dalam
menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah
mempertanyakan pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin
dipelajari dari ilmu. Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum
kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada
paham deterministik. Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat
khas bagi tiap individu manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di
antara kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik
merupakan jalan tengahnya.
Ilmuwan
melakukan kompromi sebagai landasan ilmu. Sebab ilmu sebagai pengetahuan yang
berfungsi membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidak
perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman
terhadap hal-hal hakiki dalam kehidupan. Karena it u; Harus disadari bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah
berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak.
Ilmu
memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan, dimana
keputusan itu harus didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relative.
Jadi, berdasarkan teori-teori keilmuan, tidak akan pernah didapatkan hal pasti
mengenai suatu kejadian. Yang didapatkan adalah kesimpulan yang probabilistik,
atau bersifat peluang
D.
Peluang
Peluang
secara sederhana diartikan sebagai probabilitas. Peluang 0.8 secara sederhana
dapat diartikan bahwa probabilitas untuk suatu kejadian tertentu adalah 8 dari
10 (yang merupakan kepastian). Dari sudut keilmuan hal tersebut memberikan
suatu penjelasan bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk
mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Tetapi ilmu memberikan
pengetahuan sebagai dasar bagi manusia untuk mengambil keputusan, dimana
keputusan itu harus didasarkan kepada kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.
Dengan demikan maka kata akhir dari suatu keputusan terletak ditangan manusia
pengambil keputusan itu dan bukan pada teori-teori keilmuan.
E.
Asumsi Dalam
Ilmu
Waktu
kecil segalanya kelihatan besar, pohon terasa begitu tinggi, orang-orang tampak
seperti raksasa Pandangan itu berubah setelah kita berangkat dewasa, dunia
ternyata tidak sebesar yang kita kira, wujud yang penuh dengan misteri ternyata
hanya begitu saja. Kesemestaan pun menciut, bahkan dunia bisa sebesar daun
kelor, bagi orang yang putus asa.
Katakanlah
kita sekarang sedang mempelajari ilmu ukur bidang datar (planimetri). Dengan
ilmu itu kita membuat kontruksi kayu bagi atap rumah kita. Sekarang dalam
bidang datar yang sama bayangkan para amuba mau bikin rumah juga. Bagi amuba
bidang datar itu tidak rata dan mulus melainkan bergelombang, penuh dengan
lekukan yang kurang mempesona. Permukaan yang rata berubah menjadi kumpulan
berjuta kurva.
Mengapa terdapat perbedaan pandangan yang nyata terhadap
obyek yang begitu kongkret sperti sebuah bidang? Ahli fisika Swiss
Charles-Eugene Guye menyimpulkan gejala itu diciptakan oleh skala observasi.
Bagi skala observasi anak kecil pohon-pohon natal itu begitu gigantik,
sedangkan bagi skala observasi amuba, bidang datar ini merupakan daerah
pemukiman yang berbukit-bukit.
Jadi secara mutlak sebenarnya tak
ada yang tahu seperti apa sebenarnya bidang datar itu. hanya Tuhan yang tahu!
Secara filsafati mungkin ini merupakan masalah besar namun bagi ilmu masalah
ini didekati secara praktis. Seperti disebutkan terdahulu ilmu sekadar
merupakan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat membantu
kehidupan manusia secara pragmatis. Dengan demikian maka untuk tujuan membangun
atap rumah, sekiranya kita asumsikan bahwa permukaan papan itu adalah bidang
datar, maka secara pragmatis hal ini dapat dipertanggungjawabkan.
Pada awalnya kausalitas dalam
ilmu-ilmu alam menggunakan asumsi determinisme. Namun asumsi ini goyang ketika
MaxPlanck pada tahun 1900 menemukan teori Quantum. Teori ini menyatakan bahwa
radiasi yang dikeluarkan materi tidak berlangsung secara konstan namun
terpisah-pisah yang dinamakan kuanta. Fisika quantum menunjukkan adanya
partikel-partikel yang melanggar logika hukum fisika dan bergerak secara tak
terduga.
Selanjutnya Indeterministik dalam
gejala fisik ini muncul dengan pemenuhan Niels Bohr dalam Prinsip Komplementer
(Principle of Complementary) yang dipublikasikan pada tahun 1913. Prinsip
komplementer ini menyatakan bahwa elektron bisa berupa gelombang cahaya dan
bisa juga berupa partikel tergantung dari konteksnya. Masalah ini yang menggoyahkan
sensi-sendi fisika ditambah lagi dengan penemuan Prinsip Indeterministik
(Principle of Indeterminancy) oleh Werner Heisenberg pada tahun 1927.
Heisenberg menyatakan bahwa untuk pasangan besaran tertentu yang disebut
conjugate magnitude pada prinsipnya tidak mungkin mengukur kedua besaran
tersebut pada waktu yang sama dengan ketelitian yang tinggi. Prinsip
Indeterministik ini, kata William Barret, menunjukkan bahwa terdapat limit
dalam kemampuan manusia untuk mengetahui dan meramalkan gejala-gejala fisik.
Ilmu-ilmu ini bersifat otonom dalam
bidang pengkajiannya masing-masing dan “berfederasi” dalam suatu pendekatan
multidisipliner. (jadi buka “fusi” dengan penggabungan asumsi yang kacau
balau). Hal – hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan asumsi,
1. Asumsi ini
harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disipin keilmuan. Asumsi ini harus operasional dan
merupakan dasar bagi pengkajian teoretis.. Asumsi manusia dalam administrasi
yang bersifat operasional adalah makhluk ekonomis, makhluk sosial, makhluk
aktualisasi diri atau makhluk yang kompleks. Berdasarkan asumsi-asumsi ini maka
dapat dikembangkan berbagai model, strategi, dan praktek administrasi.
2. Kedua,
asumsi ini harus disimpulkan dari ‘keadaan sebagaimana adanya’ bukan ‘bagaimana
keadaan yang seharusnya’. Sekiranya
dalam kegiatan ekonomis maka manusia yang berperan adalah manusia ‘yang mencari
keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya’ maka itu
sajalah yang kita jadikan sebagai pegangan tidak usah ditambah dengan sebaiknya
begini, atau seharusnya begitu. Sekiranya asumsi semacam ini dipakai dalam
penyusunan kebijaksanaan (policy), atau strategi, serta penjabaran peraturan alinnya,
maka hal ini bisa saja dilakukan, asalkan semua itu membantu kita dalam
menganalisis permasalahan. Namun penetapan asumsi yang berdasarkan keadaan yang
seharusnya ini seyogyanya tidak dilakukan dalam analisis teori keilmuan sebab
metafisika keilmuan berdasarkan kenyataan sesungguhnya sebagaimana adanya.
Seseorang ilmuwan harus benar-benar
mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab
mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda pula konsep pemikiran
yang dipergunakan. Sesuatu yang belum tersurat (atau terucap) dianggap belum
diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat.
F.
Batas-Batas
Penjelajahan Ilmu
ilmu
memulai penjelajahannnya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas
pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari hal ihwal surga dan neraka?
Jawabnya adalah tidak; sebab surga dan neraka berada di luar jangkauan
pengalaman manusia. Baik hal-hal yang terjadi sebelum hidup kita, maupun
apa-apa yang terjadi sesudah kematian kita, semua itu berada di luar
penjelajahan ilmu.
Mengapa ilmu hanya
membatasi daripada hal-hal yang berbeda dalam batas pengalaman kita? jawabnya
terletak pada fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia: yakni sebagai
alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari.
Persoalan mengenai hari kemudian tidak akan kita nyatakan kepada ilmu,
melainkan kepada agama, sebab agamalah pengetahuan yang mengkaji
masalah-masalah seperti itu.
Ilmu membatasi lingkup
penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang
dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris.
Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar batas pengalaman empirisnya, bagaimana
kita melakukan pembuktian secara metodologis? bukankah hal ini merupakan suatu
kontradiksi yang menghilangkan keahlian metode ilmiah?
Kalau begitu maka sempit
sekali batas jelajahan ilmu, kata seorang, Cuma sepotong dari sekian
permasalahan kehidupan. Memang demikian, jawab filsuf ilmu, bahkan dalam batas
pengalaman manusia pun, ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau
salahnya suatu pernyataan. Tentang baik dan buruk, semua (termasuk ilmu)
berpaling kepada sumber-sumber moral; tentang indah dan jelek, semua (termasuk
ilmu) berpaling kepada pengkajian estetik. Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama
adalah buta, demikian kata Einstein.
Dengan makin sempitnya
daerah penjelajahan suatu bidang keilmuan maka sering sekali diperlukan
“pandangan” dari disiplin-disiplin lain. Saling pandang-memandang ini, atau
dalam bahasa protokolnya pendekatan multi-disipliner, membutuhkan pengetahuan
tentang tetangga-tetangga yang berdekatan. Artinya harus jelas bagi semua: di
mana disiplin seseorang berhenti dan di mana disiplin orang lain mulai. Tanpa
kejelasan batas-batas ini maka pendekatan multidisipliner tidak akan bersifat
konstruktif melainkan berubah menjadi sengketa kapling (yang sering terjadi
akhir-akhir ini).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar