Indahnya Kebersamaan

Indahnya Kebersamaan

Selasa, 12 Mei 2015

Filsafat 3

ONTOLOGI, METAFISIKA, ASUMSI, PELUANG, DAN BATAS-BATAS PENJELAJAHAN ILMU

A.    Ontologi

1.      Pengertian ontologi
Pengertian paling umum pada ontologi adalah bagian dari bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Pengertian ini menjadi melebar dan dikaji secara tersendiri menurut lingkup cabang-cabang keilmuan tersendiri. Pengertian ontologi ini menjadi sangat beragam dan berubah sesuai dengan berjalannya waktu. Gruber (1991) memberikan definisi yang sering digunakan oleh beberapa orang, definisi tersebut adalah “Ontologi merupakan sebuah spesifikasi eksplisit dari konseptualisme”. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge base”.
a.       Menurut bahasa, Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu On/Ontos ada,dan  Logos ilmu.  Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada.
b.      Menurut istilah, Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak (Bakhtiar , 2004)
c.       Menurut Suriasumantri (1985), Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingintahu, atau, dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang ada´. Telaah ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan. a) apakah obyek ilmu yang akan ditelaah, b) bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut dan bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti  berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.
d.      Menurut Pandangan The Liang Gie (2000)Ontologi adalah bagian dari filsafat dasar yang mengungkap makna dari sebuah eksistensi yang  pembahasannya meliputi persoalan-persoalan Apakah artinya ada, hal ada.
e.       Menurut Ensiklopedi Britannica Yang juga diangkat dari Konsepsi Aristoteles  Ontologi Yaitu teori atau studi tentang being/wujud seperti karakteristik dasar dariseluruh realitas. Ontologi sinonim dengan metafisika yaitu, studi filosofis untuk menentukan sifat nyata yang asli (real nature) dari suatu benda untuk menentukanarti, struktur dan prinsip benda tersebut. (Filosofi ini didefinisikan oleh Aristoteles abad ke-4 SM).
Dengan demikian dapat disimpulkan Ontologi merupakan adalah  suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada dan bagian dari bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Pengertian ini menjadi melebar dan dikaji secara tersendiri menurut lingkup cabang-cabang keilmuan tersendiri.
2.      Aliran-Aliran Dalam Ontologi
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Di dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut :
1)      Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terebagi ke dalam dua aliran:
a.       Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi, yang lainnya jiwa atau ruh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri. Jiwa dan ruh merupakan akibat saja dari proses gerakan kebenaran dengan dengan salah satu cara tertentu. Alasan mengapa aliran ini berkembang sehingga memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah:
·         Pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan yang dapat diraba, biasanya dijadikan kebenaran terakhir.
·         Pikiran sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di luar ruang yang abstrak.
·         Penemuan-penemuan menunjukan betapa bergantungnya jiwa pada badan.
Oleh sebab itu, peristiwa jiwa selalu dilihat sebagai peristiwa jasmani. Jasmani lebih menonjol dalam peristiwa ini. Dalam sejarahnya manusia memang bergantung pada benda seperti pada padi. Dewi Sri dan Tuhan muncul dari situ. Kesemuanya itu memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakekat adalah benda.
b.      Idealisme
Aliran idealisme dinamakan juga spiritualisme. Idealisme bderarti serba cita sedang spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan ruhani. Alasan aliran ini yang menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit atau sebangsanya adalah:
·         Nilai ruh lebih tinggi daripada badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupan manusia. Ruh itu dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya. Sehingga materi hanyalah badannya bayangan atau penjelmaan.
·         Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya.
·         Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada energi itu saja.
·         Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui pada ajaran plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di alam mesti ada idenya, yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi idealah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.
2)      Dualisme
Dualisme adalah aliran yang mencoba memadukan antara dua paham yang saling bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi maupun ruh sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul bukan karena adanya ruh, begitu pun ruh muncul bukan karena materi. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya aliran ini masih memiliki masalah dalam menghubungkan dan menyelaraskan kedua aliran tersebut di atas. Sebuah analogi dapat kita ambil misalnya tentang jika jiwa sedang sehat, maka badan pun akan sehat kelihatannya. Sebaliknya jika jiwa seseorang sedang penuh dengan duka dan kesedihan biasanya badanpun ikut sedih, terlihat dari murungnya wajah orang tersebut.
Aliran dualisme berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini dalam diri manusia. Tokoh paham ini adalah Descrates (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan).
3)      Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictonary of Philosophy and Religion dikataka sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M). Kelahiran New York dan terkenal sebagai seorang psikolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of Truth James mengemukakan, tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal.
B.     Metafisika
Ontologi menurut A.R. Lacey, ontologi berarti  a central part of metaphisics ” (bagian sentral dari metafisika) sedangkan metafisika diartikan sebagai that which comes after physics, the study of nature in general” (hal yang hadir setelah fisika, studi umum mengenai alam).
Pembahasan ontologi terkait dengan pembahasan mengenai metafisika. Mengapa ontologi terkait dengan metafisika? Ontologi membahas hakikat yang “ada”, metafisika menjawab pertanyaan apakah hakikat kenyataan ini sebenar-benarnya? Pada suatu pembahasan, metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan lain, ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari metafisika. Karena itu, metafisika dan ontologi merupakan dua hal yang saling terkait.
Bidang telaah filsafati yang disebut metafisika ini merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati termasuk pemikiran ilmiah. Diibaratkan pikiran adalah roket yang meluncur ke bintang-bintang, menembus galaksi dan awan gemawan, maka Metafisika adalah landasan peluncurannya. Dunia yang sepintas lalu kelihatan sangat nyata ini, ternyata menimbulkan berbagai spekulasi filsafati tentang hakikatnya. Beberapa tafsiran tentang metafisika diantaranya, sebagai berikut
1.      Supernaturalisme
Di alam terdapat wujud-wujud gaib (supernatural) dan ujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih berkuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Animisme merupakan kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme ini, dimana manusia percaya bahwa terdapat roh yang sifatnya gaib terdapat dalam benda-benda.
2.      Naturalisme
Paham ini menolak wujud-wujud yang bersifat supernatural. Materialisme merupakan paham yang berdasarkan pada aliran naturalisme ini. Kaum materialisme menyatakan bahwa gejala-gejala alam disebabkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat kita ketahui.
Democritos (460-370 S.M.) adalah salah satu tokoh awal paham materialisme. Ia mengembangkan paham materialisme dan mengemukakan bahwa unsur dasar dari alam adalah atom. Hanya berdasar kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu panas, dan sebagainya. Obyek dari penginderaan sering dianggap nyata, padahal tidak demikian, hanya atom dan kehampaan itulah yang bersifat nyata. Jadi, panas, dingin, warna merupakan terminologi yang manusia berikan arti dari setiap gejala yang ditangkap oleh pancaindra. Indentik paham naturalisme adalah paham:
a.       Mekanistik : gejala alam dapat didekati dari segi proses kimia fisika.
b.       Vitalistik : hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara subtantif dengan proses tersebut.
c.       Monistik : tidak ada perbedaan antara pikiran dengan zat , mereka hanya berbeda dalam gejala disebabkan yang berlainan namun mempunyai subtansi yang sama.
d.      Demokritos adalah seorang filsuf yang termasuk di dalam Mazhab Atomisme. Ia adalah murid dari leukippos, pendiri mazhab tersebut Demokritos mengembangkan pemikiran tentang atom sehingga justru pemikiran Demokritos yang lebih dikenal di dalam sejarah filsafat.
Dengan demikian, gejala alam dapat didekati dari proses kimia fisika. Pendapat ini merupakan pendapat kaum mekanistik, bahwa gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia fisika semata. Hal ini ditentang oleh kaum vitalistik, yang merupakan kelompok naturalisme juga. Paham vitalistik sepakat bahwa proses kimia fisika sebagai gejala alam dapat diterapkan, tetapi hanya meliputi unsur dan zat yang mati saja, tidak untuk makhluk hidup.
Dalam kajian metafisika, ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Makin dalam penjelajahan ilmiah dilakukan, akan semakin banyak pertanyaan yang muncul, termasuk pertanyaan-pertanyaan mengenai hal-hal tersebut di atas. Karena beragam tinjauan filsafat diberikan oleh setiap ilmuwan, maka pada dasarnya setiap ilmuwan bisa memiliki filsafat individual yang berbeda-beda. Titik pertemuan kaum ilmuwan dari semua itu adalah sifat pragmatis dari ilmu.
C.     Asumsi
Asumsi adalah praduga anggapan sementara (yang kebenarannya masih dibuktikan) . timbulnya asumsi karena adanya permasalahan yang belum jelas, seperti belum jelasnya hakekat alam ini, yakni apakah gejala alam ini tunduk kepada determinisme , yakni hukum alam yang bersifat universal ataukah hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala merupakan akibat pilihan bebas ataukah keumuman memang ada namun berupa peluang , sekedar tangkapan probalistik (kemungkinan sesuatu hal untuk terjadi).
Tidak muthlak atau pasti sebagaimana ilmu yang tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang bersifat muthlak. Jadi asumsi bukanlah suatu keputusan muthlak.
1.      Kedudukan ilmu dalam asumsi
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan , karena keputusan harus didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.
2.      Resiko asumsi
Apa yang diasumsikan akan mengandung resiko secara menyeluruh. Seseorang yang mengasumsikan usahanya akan berhasil maka direncanakan akan diadakan pesta keberhasilannya. Secara tiba- tiba usahanya dinyatakan tidak berhasil. Resikonya menggagalkan pelaksanaan pestanya.
3.      Beberapa asumsi dalam ilmu
Akan terjadi perbedaan pandang suatu masalah bila ditinjau dari berbagai kacamata ilmu begitu juga asumsi. Ilmu sekedar merupakan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat membantu kehidupan manusia secara pragmtis.Pragmatis : sesuatu yang mengandung manfaat.
Asumsi-asumsi dalam ilmu contohnya ilmu fisika yakni ilmu yang paling maju bila di bandingkan dengan ilmu-ilmu lain.
Fisika merupakan ilmu teoritis yang di bangun atas system penalaran deduktif yang meyak/.inkan serta pembutktian induktif yang sangat mengesankan. Fisika terdapat celah-celah perbedaan yang terletak di dalam pondasi dimana dibangun teori ilmiah diatas yakni dalam asumsi tentang dunia fisiknya.(zat,gerak,ruang dan waktu).
4.      Jenis-jenis asumsi
Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal, antara lain; Aksioma. Pernyataan yang disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian karena kebenaran sudah membuktikan sendiri (Postulat). Pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian, atau suatu fakta yang hendaknya diterima saja sebagaimana adanya Premise. Pangkal pendapat dalam suatu entimen . Pertanyaan penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana penggunaan asumsi secara tepat? Untuk menjawab permasalahan ini, perlu tinjauan dari awal bahwa gejala alam tunduk pada tiga karakteristik :
a.       Deterministik
Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu.
b.      Pilihan Bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak ditemukan pada bidang ilmu sosial. Sebagai misal, tidak ada tolak ukur yang tepat dalam melambangkan arti kebahagiaan. Masyarakat materialistik menunjukkan semakin banyak harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia lain, kebahagiaan suatu suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu melestarikan budaya animismenya. Sebagai mana pula masyarakat brahmana di India mengartikan bahagia jika mampu membendung hasrat keduniawiannya. Tidak ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung ruang dan waktu.
c.       Probabilistik
Pada sifat probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada namun sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik dengan peluang tertentu. Probabilistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki sifat deterministik dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan modern, karakteristik probabilitas ini lebih banyak dipergunakan. Dalam ilmu ekonomi misalnya, kebenaran suatu hubungan variabel diukur dengan metode statistik dengan derajat kesalahan ukur sebesar 5%. Pernyataan ini berarti suatu variabel dicoba diukur kondisi deterministiknya hanya sebesar 95%, sisanya adalah kesalahan yang bisa ditoleransi. Jika kebenaran statistiknya kurang dari 95% berarti hubungan variabel tesebut tidak mencapai sifat-sifat deterministik menurut kriteria ilmu ekonomi.
Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan jalan tengahnya.
Ilmuwan melakukan kompromi sebagai landasan ilmu. Sebab ilmu sebagai pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal hakiki dalam kehidupan. Karena it   u; Harus disadari bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak.
Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relative. Jadi, berdasarkan teori-teori keilmuan, tidak akan pernah didapatkan hal pasti mengenai suatu kejadian. Yang didapatkan adalah kesimpulan yang probabilistik, atau bersifat peluang
D.    Peluang
Peluang secara sederhana diartikan sebagai probabilitas. Peluang 0.8 secara sederhana dapat diartikan bahwa probabilitas untuk suatu kejadian tertentu adalah 8 dari 10 (yang merupakan kepastian). Dari sudut keilmuan hal tersebut memberikan suatu penjelasan bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Tetapi ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi manusia untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan kepada kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Dengan demikan maka kata akhir dari suatu keputusan terletak ditangan manusia pengambil keputusan itu dan bukan pada teori-teori keilmuan.
E.     Asumsi Dalam Ilmu
Waktu kecil segalanya kelihatan besar, pohon terasa begitu tinggi, orang-orang tampak seperti raksasa Pandangan itu berubah setelah kita berangkat dewasa, dunia ternyata tidak sebesar yang kita kira, wujud yang penuh dengan misteri ternyata hanya begitu saja. Kesemestaan pun menciut, bahkan dunia bisa sebesar daun kelor, bagi orang yang putus asa.
Katakanlah kita sekarang sedang mempelajari ilmu ukur bidang datar (planimetri). Dengan ilmu itu kita membuat kontruksi kayu bagi atap rumah kita. Sekarang dalam bidang datar yang sama bayangkan para amuba mau bikin rumah juga. Bagi amuba bidang datar itu tidak rata dan mulus melainkan bergelombang, penuh dengan lekukan yang kurang mempesona. Permukaan yang rata berubah menjadi kumpulan berjuta kurva.
Mengapa terdapat perbedaan pandangan yang nyata terhadap obyek yang begitu kongkret sperti sebuah bidang? Ahli fisika Swiss Charles-Eugene Guye menyimpulkan gejala itu diciptakan oleh skala observasi. Bagi skala observasi anak kecil pohon-pohon natal itu begitu gigantik, sedangkan bagi skala observasi amuba, bidang datar ini merupakan daerah pemukiman yang berbukit-bukit.
Jadi secara mutlak sebenarnya tak ada yang tahu seperti apa sebenarnya bidang datar itu. hanya Tuhan yang tahu! Secara filsafati mungkin ini merupakan masalah besar namun bagi ilmu masalah ini didekati secara praktis. Seperti disebutkan terdahulu ilmu sekadar merupakan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat membantu kehidupan manusia secara pragmatis. Dengan demikian maka untuk tujuan membangun atap rumah, sekiranya kita asumsikan bahwa permukaan papan itu adalah bidang datar, maka secara pragmatis hal ini dapat dipertanggungjawabkan.
Pada awalnya kausalitas dalam ilmu-ilmu alam menggunakan asumsi determinisme. Namun asumsi ini goyang ketika MaxPlanck pada tahun 1900 menemukan teori Quantum. Teori ini menyatakan bahwa radiasi yang dikeluarkan materi tidak berlangsung secara konstan namun terpisah-pisah yang dinamakan kuanta. Fisika quantum menunjukkan adanya partikel-partikel yang melanggar logika hukum fisika dan bergerak secara tak terduga.
Selanjutnya Indeterministik dalam gejala fisik ini muncul dengan pemenuhan Niels Bohr dalam Prinsip Komplementer (Principle of Complementary) yang dipublikasikan pada tahun 1913. Prinsip komplementer ini menyatakan bahwa elektron bisa berupa gelombang cahaya dan bisa juga berupa partikel tergantung dari konteksnya. Masalah ini yang menggoyahkan sensi-sendi fisika ditambah lagi dengan penemuan Prinsip Indeterministik (Principle of Indeterminancy) oleh Werner Heisenberg pada tahun 1927. Heisenberg menyatakan bahwa untuk pasangan besaran tertentu yang disebut conjugate magnitude pada prinsipnya tidak mungkin mengukur kedua besaran tersebut pada waktu yang sama dengan ketelitian yang tinggi. Prinsip Indeterministik ini, kata William Barret, menunjukkan bahwa terdapat limit dalam kemampuan manusia untuk mengetahui dan meramalkan gejala-gejala fisik.
Ilmu-ilmu ini bersifat otonom dalam bidang pengkajiannya masing-masing dan “berfederasi” dalam suatu pendekatan multidisipliner. (jadi buka “fusi” dengan penggabungan asumsi yang kacau balau). Hal – hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan asumsi,
1.      Asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disipin keilmuan. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar bagi pengkajian teoretis.. Asumsi manusia dalam administrasi yang bersifat operasional adalah makhluk ekonomis, makhluk sosial, makhluk aktualisasi diri atau makhluk yang kompleks. Berdasarkan asumsi-asumsi ini maka dapat dikembangkan berbagai model, strategi, dan praktek administrasi.
2.      Kedua, asumsi ini harus disimpulkan dari ‘keadaan sebagaimana adanya’ bukan ‘bagaimana keadaan yang seharusnya’. Sekiranya dalam kegiatan ekonomis maka manusia yang berperan adalah manusia ‘yang mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya’ maka itu sajalah yang kita jadikan sebagai pegangan tidak usah ditambah dengan sebaiknya begini, atau seharusnya begitu. Sekiranya asumsi semacam ini dipakai dalam penyusunan kebijaksanaan (policy), atau strategi, serta penjabaran peraturan alinnya, maka hal ini bisa saja dilakukan, asalkan semua itu membantu kita dalam menganalisis permasalahan. Namun penetapan asumsi yang berdasarkan keadaan yang seharusnya ini seyogyanya tidak dilakukan dalam analisis teori keilmuan sebab metafisika keilmuan berdasarkan kenyataan sesungguhnya sebagaimana adanya.
Seseorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang dipergunakan dalam analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berarti berbeda pula konsep pemikiran yang dipergunakan. Sesuatu yang belum tersurat (atau terucap) dianggap belum diketahui atau belum mendapat kesamaan pendapat.
F.     Batas-Batas Penjelajahan Ilmu
ilmu memulai penjelajahannnya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari hal ihwal surga dan neraka? Jawabnya adalah tidak; sebab surga dan neraka berada di luar jangkauan pengalaman manusia. Baik hal-hal yang terjadi sebelum hidup kita, maupun apa-apa yang terjadi sesudah kematian kita, semua itu berada di luar penjelajahan ilmu.
Mengapa ilmu hanya membatasi daripada hal-hal yang berbeda dalam batas pengalaman kita? jawabnya terletak pada fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia: yakni sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Persoalan mengenai hari kemudian tidak akan kita nyatakan kepada ilmu, melainkan kepada agama, sebab agamalah pengetahuan yang mengkaji masalah-masalah seperti itu.
Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar batas pengalaman empirisnya, bagaimana kita melakukan pembuktian secara metodologis? bukankah hal ini merupakan suatu kontradiksi yang menghilangkan keahlian metode ilmiah?
Kalau begitu maka sempit sekali batas jelajahan ilmu, kata seorang, Cuma sepotong dari sekian permasalahan kehidupan. Memang demikian, jawab filsuf ilmu, bahkan dalam batas pengalaman manusia pun, ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Tentang baik dan buruk, semua (termasuk ilmu) berpaling kepada sumber-sumber moral; tentang indah dan jelek, semua (termasuk ilmu) berpaling kepada pengkajian estetik. Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta, demikian kata Einstein.
Dengan makin sempitnya daerah penjelajahan suatu bidang keilmuan maka sering sekali diperlukan “pandangan” dari disiplin-disiplin lain. Saling pandang-memandang ini, atau dalam bahasa protokolnya pendekatan multi-disipliner, membutuhkan pengetahuan tentang tetangga-tetangga yang berdekatan. Artinya harus jelas bagi semua: di mana disiplin seseorang berhenti dan di mana disiplin orang lain mulai. Tanpa kejelasan batas-batas ini maka pendekatan multidisipliner tidak akan bersifat konstruktif melainkan berubah menjadi sengketa kapling (yang sering terjadi akhir-akhir ini).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar