AKSIOLOGI
A. Pengertian
Aksiologi
Ilmu
merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua
keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara cepat dan mudah. Dan
merupakan kenyataan yang tak dapat dimungkiri bahwa peradaban manusia sangat
berhutang pada ilmu. Ilmu telah
banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan,
kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan
ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi,
pemukiman, pendidikan, komunikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya ilmu
merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.
Kemudian
timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat manusia? Dan
memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat
menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya, pembuatan bom yang pada
awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk
hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi umat manusia itu
sendiri, seperti yang terjadi di Bali dan Jakarta baru-baru ini. Disinilah ilmu
harus di letakkan proporsional dan memihak pada nilai- nilai kebaikan dan
kemanusian. Sebab, jika ilmu tidak berpihak pada nilai-nilai, maka yang terjadi
adalah bencana dan malapetaka. Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan
teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu
pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat tentu tidak terlepas dari si ilmuwannya. Seorang ilmuwan akan
dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat
akan membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah bebas nilai. Untuk
itulah tanggung jawab seorang ilmuwan haruslah “dipupuk” dan berada pada tempat
yang tepat, tanggung jawab akademis, dan tanggung jawab moral. Pernyataan di
sekitar batas wewenang penjelajahan sains, kaitan ilmu dengan moral, nilai yang
menjadi acuan seorang ilmuan, dan tanggung jawab sosial ilmuan telah
menempatkan aksiologi ilmu pada posisi yang sangat penting. Karena itu, salah
satu aspek pembahasan integrasi keilmuan ialah aksiologi ilmu. Menurut bahasa
Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori
atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Berikut ini dijelaskan
beberapa definisi aksiologi. Menurut Suriasumantri (1990:234) aksiologi adalah
teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Menurut
Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan
bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika.
Menurut
Wibisono (dalam Surajiyo, 2009:152) aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak
ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan
penggalian, serta penerapan ilmu.
Menurut
Bramel (dalam Amsal 2009: 163)Aksiologi terbagi tiga bagian :
1. Moral
Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu
etika.
2. Estetic
expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan.
3. Socio-political
life, yaitu kehidupan social politik, yang akan melahirkan filsafat social
politik.
Dalam
Encyclopedia of Philosophy(dalam Amsal:164) dijelaskan aksiologi disamakan
dengan value and valuation :
1. Nilai digunakan
sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik,
menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai
tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
2. Nilai
sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau
nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai,
seperti nilainya atau nilai dia.
3. Nilai
juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau
dinilai. Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa
permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu
pada masalah etika dan estetika.
B.
Aksiologi: Nilai Kegunaan Ilmu
Teori
tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika
dimana makna etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan
mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai
untuk membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya.
Nilai
itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan
objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang
menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang
melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat
individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi
subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia
menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu
memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti
perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak
senang. Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Perkembangan
dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi
manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan
teknologinya merupakan berkah dan penyelamat baagi manusia, terbebas dari kutuk
yang membawa malapetaka dan kesengsaraan? Memang mempelajari teknologi seperti
bom atom, manusia bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi bagi
keselamatan umat manusia, tetapi dipihak lain hal ini bisa juga berakibat
sebaliknya, yakni membawa mausia pada penciptaan bom atom yang menimbulkan
malapetaka. Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada esensinya
mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa sebenarnya
ilmu itu harus dipergunakan? Berkenaan dengan nilai guna ilmu, tak dapat
dibantah lagi bahwa ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia,
dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan hal ini,
menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun.S.Suriasumatri yaitu
bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau
justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang
disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan
kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk
mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak
mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam
menggunakannya.
C. Ilmu dan Moral
Perkembangan ilmu tidak pernah terlepas dari
ketersinggungannya dengan berbagai masalah moral. Baik atau buruknya ilmu,
sangat dipengaruhi oleh kebaikan atau keburukan moral yang para penggunanya.
Peledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat, merupakan
sebuah contoh penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah maju
pada jamannya. Pada dasarnya masalah moral, tidak bisa dilepaskan dari tekad
manusia untuk menemukan dan mempertahankan kebenaran. Moral sangat berkaitan
dengan nilai-nilai, serta cara terhadap suatu hal. Pada awal masa
perkembangannya, ilmu seringkali berbenturan dengan nilai moral yang diyakini
oleh masyarakat. Oleh karena itu, sangat banyak ilmuwan atau ahli filsafat yang
dianggap gila atau bahkan dihukum mati oleh penguasa pada saat itu. Nicholas
Copernicus, Socrates, John Huss, dan Gallileo Gallilei adalah beberapa
contohnya. Selain itu ada pula beberapa kejadian dimana ilmu harus didasarkan
pada nilai moral yang berlaku pada saat itu, walaupun hal tersebut bersumber
dari pernyataan-pernyataan di luar bidang keilmuan (misalnya agama). Karena
berbagai sebab diatas, maka para ilmuwan berusaha untuk mendapatkan otonomi
dalam mengembangkan ilmu yang sesuai dengan kenyataan. Setelah pertarungan
ideologis selama kurun waktu 250 tahun, akhirnya para ilmuwan mendapatkan
kebebasan dalam mengembangkan ilmu tanpa dipengaruhi berbagai hal yang bersifat
dogmatik.
Kebebasan tadi menyebabkan para ilmuwan mulai berani mengembangkan ilmu secara luas. Pada akhirnya muncullah berbagai konsep ilmiah yang di-kongkretkan dalam bentuk teknik. Yang dimaksud teknik disini adalah penerapan ilmu dalam berbagai pemecahan masalah. Yang menjadi tujuan ialah bukan saja untuk mempelajari dan memahami berbagai faktor yang berkaitan dengan masalah-masalah manusia, tetapi juga untuk mengontrol dan mengarahkannya. Hal ini menandai berakhirnya babak awal ketersinggungan ilmu dengan moral. Pada masa selanjutnya, ilmu kembali dikaitkan dengan masalah moral yang berbeda. Yaitu berkaitan dengan penggunaan pengetahuan ilmiah. Maksudnya terdapat beberapa penggunaan teknologi yang justru merusak kehidupan manusia itu sendiri. Dalam menghadapi masalah ini, para ilmuwan terbagi menjadi dua pandangan.
Kebebasan tadi menyebabkan para ilmuwan mulai berani mengembangkan ilmu secara luas. Pada akhirnya muncullah berbagai konsep ilmiah yang di-kongkretkan dalam bentuk teknik. Yang dimaksud teknik disini adalah penerapan ilmu dalam berbagai pemecahan masalah. Yang menjadi tujuan ialah bukan saja untuk mempelajari dan memahami berbagai faktor yang berkaitan dengan masalah-masalah manusia, tetapi juga untuk mengontrol dan mengarahkannya. Hal ini menandai berakhirnya babak awal ketersinggungan ilmu dengan moral. Pada masa selanjutnya, ilmu kembali dikaitkan dengan masalah moral yang berbeda. Yaitu berkaitan dengan penggunaan pengetahuan ilmiah. Maksudnya terdapat beberapa penggunaan teknologi yang justru merusak kehidupan manusia itu sendiri. Dalam menghadapi masalah ini, para ilmuwan terbagi menjadi dua pandangan.
1. Golongan yang berpendapat
bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis
maupun aksiologi. Dalam hal ini ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan
terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan digunakan untuk
tujuan yang baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Golongan ini ingin
melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total, seperti pada waktu era
Galileo.
2. Golongan yang berpendapat
bahwa netralisasi ilmu hanyalah terbatas pada metafisika keilmuwan, sedangkan
dalam penggunannya harus berlandaskan nilai-nilai moral. Golongan ini
mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni:
§ Ilmu secara faktual telah
dipergunakan secara deskrutif oleh manusia, yang dibuktikan dengan adanya
perang dunia yang mempergunakan teknologi keilmuwan.
§ Ilmu telah berkembang dengan
pesat dan makin esoteric hingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang
ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan
§ Ilmu telah berkembang
sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia
dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan
teknik pembuatan sosial.
·
Berbicara masalah ilmu dan moral memang sudah
sangat tidak asing lagi, keduanya memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Ilmu
bisa menjadi malapetaka kemanusiaan jika seseorang yang memanfaatkannya “tidak
bermoral” atau paling tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. Tapi
sebaliknya ilmu akan menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan
secara benar dan tepat, tentunya tetap mengindahkan aspek moral. Dengan
demikian kekuasaan ilmu ini mengharuskan seseorang ilmuan yang memiliki
landasan moral yangn kuat, ia harus tetap memegang idiologi dalam mengembangkan
dan memanfaatkan keilmuannya. Tanpa landasan dan pemahaman terhadap nilai-nilai
moral, maka seorang ilmuan bisa menjadi “monster” yang setiap saat bisa
menerkam manusia, artinya bencana kemanusiaan bisa setiap saat terjadi.
Kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berilmu itu jauh lebih jahat dan
membahayakan dibandingkan kejahatan orang yang tidak berilmu (boboh). Kita
berharap semoga hal ini bisa disadari oleh para ilmuan, pihak pemerintah, dan
pendidik agar dalam proses transformasi ilmu pengetahuan tetap mengindahkan
aspek moral. Karena ketangguhan suatu bangsa bukan hanya ditentukan oleh
ketangguhkan ilmu pengetahuan tapi juga oleh ketangguhan moral warga.
D.
Tanggung
Jawab Sosial Ilmuwan
Ilmu
merupakan hasil karya seseorang yang dikomunikasikan dan dikaji secara luas
oleh masyarakat. Jika hasil karyanya itu memenuhi syarat-syarat keilmuan, maka
karya ilmiah itu, akan menjadi ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat
luas. Maka jelaslah jika ilmuwan memiliki tanggung jawab yang besar, bukan saja
karena ia adalah warga masyarakat, tetapi karena ia juga memiliki fungsi
tertentu dalam masyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan, tidak hanya sebatas
penelitian bidang keilmuan, tetapi juga bertanggung jawab atas hasil
penelitiannya agar dapat digunakan oleh masyarakat, serta bertanggung jawab
dalam mengawal hasil penelitiannya agar tidak disalah gunakan.
Selain itu pula, dalam masyarakat seringkali terdapat berbagai masalah yang belum diketahui pemecahannya. Maka ilmuwan sebagai seorang yang terpandang, dengan daya analisisnya diharapkan mampu mendapatkan pemecahan dari masalah tersebut. Seorang ilmuwan dengan kemampuan berpikirnya mampu mempengaruhi opini masyarakat terhadap suatu masalah. Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada masyarakat dalam bahasa yang mudah dicerna. Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan adalah memberikan perspektif yang benar: untung dan rugi, baik dan buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan. Tanggung jawab sosial lainnya dari seorang ilmuwan adalah dalam bidang etika. Dalam bidang etika ilmuwan harus memposisikan dirinya sebagai pemberi contoh. Seorang ilmuwan haruslah bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik dan pendapat orang lain, kukuh dalam pendiriannya, dan berani mengakui kesalahannya. Semua sifat ini beserta sifat-sifat lainnya, merupakan implikasi etis dari berbagai proses penemuan ilmiah. Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu secara begitu saja tanpa pemikiran yang cermat. Disinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir orang awam. Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat inilah yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara kepada masyarakat sekiranya ia mengetahui bahwa berpikir mereka keliru, dan apa yang membikin mereka keliru, dan yang lebih penting lagi harga apa yang harus dibayar untuk kekeliruan itu. Sudahseharusnya pula terdapat dalam diri seorang ilmuwan sebagai suri tauladan dalam masyarakat. Dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari. Dalam hal ini, berbeda dengan menghadapi masyarakat, ilmuwan yang elitis dan esoteric, dia harus berbicara dengan bahasa yang dapat dicerna oleh orang awam. Untuk itu ilmuwan bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga integritas kepribadiannya. Dibidang etika tanggungjawab sosial seseorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil didepan bagaimana caranya bersifat obyektif, terbuka, menerima kritikan, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar dan berani mengakui kesalahan. Tugas seorang ilmuwan harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat.
Selain itu pula, dalam masyarakat seringkali terdapat berbagai masalah yang belum diketahui pemecahannya. Maka ilmuwan sebagai seorang yang terpandang, dengan daya analisisnya diharapkan mampu mendapatkan pemecahan dari masalah tersebut. Seorang ilmuwan dengan kemampuan berpikirnya mampu mempengaruhi opini masyarakat terhadap suatu masalah. Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada masyarakat dalam bahasa yang mudah dicerna. Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan adalah memberikan perspektif yang benar: untung dan rugi, baik dan buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan. Tanggung jawab sosial lainnya dari seorang ilmuwan adalah dalam bidang etika. Dalam bidang etika ilmuwan harus memposisikan dirinya sebagai pemberi contoh. Seorang ilmuwan haruslah bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik dan pendapat orang lain, kukuh dalam pendiriannya, dan berani mengakui kesalahannya. Semua sifat ini beserta sifat-sifat lainnya, merupakan implikasi etis dari berbagai proses penemuan ilmiah. Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu secara begitu saja tanpa pemikiran yang cermat. Disinilah kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir orang awam. Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat inilah yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara kepada masyarakat sekiranya ia mengetahui bahwa berpikir mereka keliru, dan apa yang membikin mereka keliru, dan yang lebih penting lagi harga apa yang harus dibayar untuk kekeliruan itu. Sudahseharusnya pula terdapat dalam diri seorang ilmuwan sebagai suri tauladan dalam masyarakat. Dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari. Dalam hal ini, berbeda dengan menghadapi masyarakat, ilmuwan yang elitis dan esoteric, dia harus berbicara dengan bahasa yang dapat dicerna oleh orang awam. Untuk itu ilmuwan bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga integritas kepribadiannya. Dibidang etika tanggungjawab sosial seseorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil didepan bagaimana caranya bersifat obyektif, terbuka, menerima kritikan, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar dan berani mengakui kesalahan. Tugas seorang ilmuwan harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat.
Seorang
ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penelitian atau penemuannya
dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang memepergunakan bangsanya
sendiri. Sejarah telah mencatat para ilmuwan bangkit dan bersikap terhadap
politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas
kemanusiaan. Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai
untuk kemaslahatan manusia atau sebaliknya dapat pula disalahgunakan. Untuk
itulah tanggung jawab ilmuwan haruslah “dipupuk” dan berada pada tempat yang
tepat, tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral.
E.
Nuklir dan Pilihan Moral
Pada
tanggal 2 agustus 1939 Albert Einstein menulis surat kepada presiden Roosevelt
yang isinya yaitu merekomendasikan untuk melakukan serangkaian kegiatan yang
mencapai puncaknya pada pembuatan bom atom yang dapat memusnahkan ribuan umat
manusia dalam waktu sesaat, pandangan ilmu sebagai berkah dan penyelamat
manusia dipertanyakan, apakah ilmu member berkah atau menimbulkan kegoncangan
bagi manusia? Einstein mungkin tidak salah dengan rekomendasinya itu, karena
seandainya amerika serikat tidak segera membuat bom atom, nazi sedang
mempersiapkan diri untuk membuat bom nuklir yang dapat menjadi pembunuhmissal.sejak saat
itu muncul pertanyaan disekitar kaitan ilmu dengan moral, ilmu dengan nilai,
dan tanggung jawat moral ilmuan, untuk apa ilmu dan teknologi
dikembangkan?apakah dikembangkan untuk tujuan- tujuan kemanusiaan, atau tujuan
perang?apakah ilmu bebas nilai apakah serat pada nilai? Kemana perkembangan
ilmu sebenarnya harus diarahkan?
Secara
factual ilmu digunakan secara destruktif oleh manusia, yang dibuktikan dengan
adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi- teknologi keilmuan, ilmu
bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesame
manusia dan menguasai mereka. Disamping berbagai senjata modern juga
dikembangkan berbagai tehnik penyiksaan. Tehnologi yang seharusnya menerapkan konsep-
konsep sains untuk membantu memecahkan masalah manusia baik perangkat keras
maupun yang lunak cenderung menimbulkan gejala anti kemanusiaan (dehumanisme),
bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, terutama akibat
perkembangan sain dan teknologi. Sains bukan lagi sarana yang membantu manusia
mencapai tujuan melainkan menciptakan tujuan hidup itu sendiri.
Seorang
ilmuan secara moral tidak akan menggunakan penemuannya diprgunakan untuk
menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakannya adalah bangsanya sendiri,
sejarah telah menentukan bahwa para ilmuan bangkit dan bersikap terhadap
politik dan pemerintahan yang menurut anggapan mereka melanggar asas- asas
kemanusiaan. Mereka akan bersuara sekiranya kemanusiaan akan memerlukan mereka.
Dengan suara yang universal, mengatasi golongan, ras, system kekuasaan, agama,
dan rintangan yang bersifat social. Salah satu musuh manusia adalah peperangan
yang akan menyebabkan kehancuran, pembunuhan, kesengsaraan, peperangan
merupakan fakta dari sejarah kemanusiaan yang sudah mendarah daging.
Pengetahuan adalah kekuasaan, hanya kekuasaan yang dapat dipakai untuk
kemaslahatan manusia.
F. Revolusi
Genetika
Ilmu
dalam persfektif sejarah kemanusiaan mempunyai puncak kecemerlangan masing-
masing, namun seperti kotak Pandora yang terbuka kecemerlangan itu membawa
malapetaka. Perang dunia 1 menghadiahkan bom kuman yang menjadi kutukan ilmu
kimia dan perang dunia 2 muncul bom atom produk fisika, dan kutukan apa yang
akan dibawa oleh revolusi genetika.
Revolusi
genetika merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuan manusia sebab sebelum
ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai obyek penelaah itu
sendiri.dengan penelitian genetika ini menjadi sangat lain kita tidak lagi
menelaah organ- organ manusia melainkan manusia itu sendiri yang menjadi objek
penelitian yang menghasilkan bukan lagi tekhnologi yang memberikan kemudahan
melainkan teknologi yang mengubah manusia itu sendiri, apakah perubahan itu
akan dibenarkan dengan moral, yaitu sikap yang sudah dimiliki seorang ilmuan?
Jawabannya
yaitu tinggal dikembalikan lagi kepada hakikat manusia itu sendiri, karena
sudah kita ketahui bahwa ilmu itu berfungsi sebagai pengetahuan yang
membantudalam mencapai tujuan hidupnya, tujuan hidup ini berkaitan erat dengan
hakikat kemanusiaan itu sendiri, bersifat otonom dan terlepas dari kajian dan
pengaruh ilmiah. Penemuan dan riset genetika akan digunakan dengan itikad yang
baik untuk keluhuran manusia, dan bagaimana sekiranaya riset tersebut jatuh
pada tangan yang tidak bertanggung jawab dan mempergunakan penemuan ilmiah ini
untuk kepentingannya sendiriyang bersifat destruktif? Apa yang akan diberikan
bahwa pengetahuan ini tidak akan dipergunakan untuk tujuan- tujuan seperti itu?
Dari pertanyaan itu kita melihat dari sudut ini makin meyakinkan kita bahwa
akan lebih banyak keburukannya dibandingkan dengan kebaikannya sekiranya
hakikat kemanusiaan itu sendiri mulai dijamah. Rekayasa yang cenderung
menimbulkan gejala anti kemanusiaan (dehumanisme) dan mengubah hakikat
kemanusiaan menimbulkan pertanyaan disekitar batas dan wewenag penjelajahan
sains, disamping tanggung jawab dan moral ilmuan. Jika sains melakukan telaahan
terhadap organ tubuh manusia, seperti jantung dan ginjal barangkali hal itu
tidak menjadi masalah terutama jika kajian itu bermuara pada penciptaan
teknologi yang dapat merawat atau membantu fungsi- fungsi organ tubuh manusia.
Tapi jika sains mencoba mengkaji hakikat manusia dan cenderung mengubah proses
penciptaan manusia seperti kasus dalam kloning hal inilah yang menimbulkan
pertanyaan disekitar batas dan wewenang penjelajahan sains. Yang jadi
pertanyaan sekarang sejauh mana penjelajahan sains dan teknologi?
Berkaitan
dengan pertanyaan diatas dimana kaitan ilmu dengan moral, nilai yang menjadi
acuan seorang ilmuan, dan tanggung jawab social ilmuan telah menempatkan
aksiologi ilmu pada posisi yang sangat penting karena itu salah satu aspek
pembahasan mendasar dalam integrasi keilmuan adalah aksiologi yang sebelumnya
telah dibahas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar